Rabu, 29 Agustus 2012

INFRASTRUKTUR GAS BARU AKAN DIBANGUN

Jakarta - Pemerintah menunjuk PT Pertamina Gas, anak usaha PT Pertamina (Persero) di sektor gas bumi, untuk membangun jaringan pipa Cirebon-Bekasi senilai US$ 200 juta. Evita Legowo, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi, menyatakan pipa sepanjang 140 kilometer itu merupakan bagian dari jaringan pipa Trans Jawa yang saat ini sedang dibangun.

Pipa ini akan menghubungkan pipa gas dari Gresik-Semarang dan Semarang-Cirebon. “Ruas Bekasi-Cirebon semacam perluasan dari yang sedang dikerjakan sekarang jadi bukan melalui hasil lelang,” kata dia, Rabu.

Untuk pengerjaan ruas pipa Trans Jawa sepanjang total 570 kilometer, Pertamina Gas bekerja sama dengan PT Rekayasa Industri (Rekind), badan usaha milik negara di sektor rekayasa dan pengadaan. Evita mengatakan jaringan pipa tersebut nantinya akan mengalirkan gas dari unit penampungan dan regasifikasi terapung (floating storage regasification unit/FSRU) di Jawa Tengah yang akan dibangun oleh Pertamina.

“Infrastrukturnya kami bangun dulu, nanti untuk alokasi gasnya dicari bersama,” jelasnya.
Selain di Jawa, Pertamina Gas juga akan mengerjakan jaringan pipa trans Sumatera dari Arun menuju Belawan untuk menghubungkan pipa milik PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) yang sudah ada. Pipa tersebut diperlukan seiring dengan rencana revitalisasi Kilang LNG Arun menjadi regasifikasi unit.

“Tapi masih ada ruas kecil yang belum kami tentukan tapi yang terpenting dari Arun ke Belawan dulu,” kata Evita.

Gunung Sardjono Hadi, Direktur Utama Pertamina Gas, mengatakan pihaknya masih melakukan kajian sebelum menentukan besaran investasi yang akan dialokasikan perusahaan untuk proyek pipa Cirebon-Bekasi. Saat ini perseroan tengah Sekarang kami sedang survei kajian pekerjaan desain rinci dari pipa yang sudah ada.

"Hasilnya akan menentukan besaran investasi pipa Cirebon-Bekasi," kata dia kepada IFT.

Selain Pertamina Gas, perusahaan lain yang membangun pipa di Jawa adalah PT Bakrie Oil & Gas Infrastructure.  Anak usaha PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR) tersebut membangun pipa yang menghubungkan lapangan gas Kepodang di Blok Muriah ke Semarang, Jawa Tengah.

Bambang Banyudoyo, Direktur Bakrie Oil & Gas Infrastructure, menargetkan proyek pipa gas lapangan Kepodang akan selesai pada akhir 2014. Penyelesaian proyek tersebut bersamaan dengan rencana produksi gas dari lapangan Kepodang yang dikelola oleh Petronas Carigali Muriah Limited, perusahaan minyak dan gas asal Malaysia.

“Pembangunan pipa  gas  Kepodang akan menyesuaikan dengan  rencana pembangunan  platform produksi gas  Petronas,” jelas Bambang.

Deni Friawan, Peneliti Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies, menyatakan defisit gas yang saat ini dialami oleh PT PLN (Persero) dan kalangan dunia usaha lebih disebabkan minimnya infrastruktur pendistribusian gas di Tanah Air, termasuk di Jawa.

"Infrastruktur perlu dibangun di Jawa, banyak tumbuh industri atau sektor manufaktur yang sangat membutuhkan pasokan energi murah, yaitu gas", ujarnya.

Masalah defisit gas tersebut tidak hanya dapat diselesaikan dengan dibangunnya sejumlah ruas pipa gas dan terminal penerima gas alam cair, karena pembangunan infrastruktur tersebut akan sia-sia jika tidak ada gas yang disalurkan.

Salah satu kendala pemenuhan gas di domestik adalah rendahnya harga beli gas di mulut sumur (well head) gas, sehingga produsen gas lebih memilih mengekspor gasnya ke luar negeri. Kalau harga jual di domestik lebih bagus, produsen pastinya akan lebih banyak memasok gas ke dalam negeri.

"Pemerintah seharusnya bisa mengendalikan diri untuk memberikan harga yang ideal biar konsumen akhir dapat membeli dengan murah, di sisi lain investor tidak rugi dari hasil jualan gasnya," katanya.

Pembangunan Kilang
Selain itu, pemerintah juga menyatakan akan membangun tiga kilang pengolahan minyak mentah dengan total kapasitas 900 barel per hari. Pembangunan kilang ini diharapkan dapat mengurangi impor bahan bakar minyak.

Evita mengatakan pemerintah saat ini masih mencari lokasi yang tepat serta kebutuhan insentif yang diperlukan. “Tiga kilang itu yang kerjasama dengan Kuwait, Saudi dan satu lagi yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,” kata dia.

Jero Wacik, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, menuturkan kemungkinan dua kilang dari tiga yang direncanakan akan dibangun di Bontang, memanfaatkan lahan milik Pertamina. Sementara satu kilang lagi masih dicari lokasinya.

"Kami targetkan seluruh pembangunan kilang bakal tuntas pada 2018," jelas dia.
Pertamina dan Kuwait Petroleum sebelumnya telah menandatangani nota kesepahaman pembuatan studi kelayakan kilang yang sempat direncanakan berlokasi di Balongan, Indramayu, Jawa Barat pada 19 Agustus 2011 dengan target operasi kilang di 2017.

Sedangkan untuk kilang yang merupakan kerja sama dengan Saudi Aramco, Pertamina sudah menandatangani nota kesepahaman pada 18 Februari 2012 dengan target operasi kilang 2018. Nilai investasi dari kedua kilang tersebut masing-masing US$ 10 miliar. Besarnya nilai investasi karena selain menghasilkan bahan bakar minyak, kedua kilang tersebut juga ditujukan untuk menghasilkan produk turunan minyak berupa bahan bakupetrokimia. (Sumber: Indonesia Finance Today)

GAS UNTUK DOMESTIK TERKENDALA INFRASTRUKTUR


Jakarta - Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas  Bumi (BPMIGAS) telah memenuhi semua kebutuhan pasokan gas untuk domestik khususnya pemenuhan gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG). Disisi lain karena keterbatasan terminal penerima (receiving terminal) yang hanya terdapat di lepas pantai utara Jakarta maka produksi LNG yang tidak mampu diserap terpaksa dikirim ke pasar spot untuk menghindari potensi kehilangan yang lebih besar.

Misalnya, kebutuhan LNG untuk domestik pada tahun ini yang sudah terpenuhi adalah untuk pabrik pupuk PT Pupuk Iskandar Muda sebesar 8 kargo, bahkan pasokan gas untuk kebutuhan pabrik pupuk ini hingga tahun 2014 telah dapat diamankan.

Sementara untuk pasokan ke PT Nusantara Regas yang mengelola Floating Storage Regasification Unit (FSRU) Teluk Jakarta, BPMIGAS telah mengalokasikan LNG sebanyak 26 kargo pada tahun ini namun pihak Nusantara Regas ternyata hanya mampu menyerap 14 kargo LNG pada tahun ini.  

Secara keseluruhan alokasi gas untuk domestik saat ini terus mengalami peningkatan sejak tahun 2003 yang hanya sebesar 2,38 triliun kaki kubik, melonjak menjadi 20,52 triliun kaki kubik pada tahun 2011. 

Peningkatan terbesar adalah untuk alokasi industri dari hanya sebesar 0,1 triliun kaki kubik pada tahun 2003, meningkat tajam menjadi 10,18 triliun kaki kubik pada tahun 2011.
Sementara alokasi untuk kelistrikan yang pada tahun 2003 hanya sebesar 1,18 triliun kaki kubik, saat ini telah mencapai 7,01 triliun kaki kubik pada tahun 2011.

 “BPMIGAS akan selalu memprioritaskan pasokan gas untuk pasar domestik, tetapi hal ini mustahil dilaksanakan tanpa adanya ketersediaan infrastruktur,” ujar Kepala Dinas Hubungan Kemasyarakatan dan Kelembagaan BPMIGAS A. Rinto Pudyantoro di Jakarta, Rabu (29/8).

Akibat ketiadaan infrastruktur penerima gas di domestik tersebut maka sejumlah LNG yang seharusnya sudah dialokasikan untuk pasokan domestik terpaksa harus dijual ke pasar spot karena jika dibiarkan berdampak pada penutupan sumur. “Jika sumur gas harus ditutup maka akanmengganggu produksi gas secara keseluruhan bahkan menyebabkan matinya sumur gas,” katanya.

Saat ini terdapat sejumlah proyek gas yang memiliki potensi produksi cukup besar, namun jika tidak ada infrastruktur yang disiapkan sesegera mungkin untuk dapat menerima gas tersebut di domestik maka komitmen BPMIGAS untuk memenuhi kebutuhan gas domestik menjadi terkendala.

Sebagai contoh dari sisi hulu, Menteri ESDM Jero Wacik telah menyetujui alokasi gas dari kilang LNG Tangguh Train-3 sebesar 40 persen untuk domestik, namun jika tidak ada infrastruktur maka akan sulit untuk mengirimkan LNG tersebut ke pasar domestik.

Selain itu beberapa proyek gas besar yang diharapkan bisa mulai beroperasi dalam beberapa tahun ke  depan adalah Indonesia Deepwater Development (IDD) dengan operator Chevron Indonesia Company; Lapangan Jangkrik, Blok Muara Bakau dengan operator Eni Muara Bakau B.V; dan Lapangan Abadi, Blok Masela dengan operator Inpex Masela LTD. Plan of Development (POD) proyek-proyek ini sudah disetujui dan saat ini sedang dalam proses konstruksi.

Sementara pengembangan Coal Bed Methane (CBM) oleh VICO Indonesia telah mulai berproduksi dalam skala kecil dan diperkirakan akan memasok gas cukup besar ke kilang LNG Bontang dalam beberapa tahun kedepan.

“Apabila kita perhatikan, semua proyek-proyek tersebut berlokasi di wilayah timur Indonesia, beberapa malah jauh di tengah laut. Tanpa infrastruktur terminal regasifikasi dan pipa yang memadai, tidak mungkin gas dari proyek-proyek tersebut bisa dimanfaatkan oleh domestik,” ujar Rinto.

Pengembangan infastruktur gas dalam negeri memang tidak berjalan sesuai harapan. Misalnya saja, dari beberapa floating storage regasification unit (FSRU) yang direncanakan, baru satu yang sudah benar-benar beroperasi, yaitu FSRU Jawa Barat yang dioperasikan oleh PT Nusantara Regas.

“Dalam rangka pemenuhan kebutuhan gas domesik, industri hulu migas selalu siap memasok gas. Terbukti, saat FSRU Jawa Barat ini rampung, kontraktor kks di Blok Mahakam langsung mengirimkan cargo LNG ke Jawa Barat. Kita menunggu FSRU-FSRU lainnya untuk segera beroperasi juga,” ujar Rinto.

BPMIGAS juga berharap infrastruktur gas yang terkait dengan pemanfaatan gas untuk transportasi juga dapat segera diselesaikan. Untuk mendukung konversi Bahan Bakar Minyak (BBM) ke Bahan Bakar Gas (BBG) di sektor transportasi, bulan Mei lalu BPMIGAS telah memerintahkan 16 Kontraktor KKS untuk memasok gas ke 21 perusahaan daerah yang akan memasok lebih lanjut untuk keperluan BBG.(*)

Selasa, 28 Agustus 2012

PRODUKSI PREMIER OIL NAIK 26,5%

Jakarta - Premier Oil Plc, perusahaan minyak dan gas asal Inggris, mencatat realisasi produksi gas di Indonesia sepanjang semester I 2012 sebesar 248 miliar british thermal unit per hari (bbtud), naik 26,5% dari periode yang sama tahun lalu 196 bbtud. Simon Lockett, Presiden Direktur Premier Oil, menyatakan kenaikan tersebut seiring dengan mulai berproduksinya Lapangan Gajah Baru, Blok West Natuna Blok A di Kepulauan Riau pada Oktober 2011.

Produksi gas dari Blok West Natuna Blok A pada paruh pertama tahun ini naik 39,6%  menjadi 215 bbtud, naik dari 154 bbtud pada semester I 2011. Produksi tersebut berasal dari Lapangan Anoa dan Gajah Baru. Untuk produksi minyak dari Lapangan Anoa 2.600 barel per hari, naik dari 1.700 barel per hari pada periode yang sama tahun lalu

Sementara dari Lapangan Kakap yang 18,75% sahamnya dikuasai Premier Oil menyumbang gas 33 bbtud, atau turun 21,4% dari produksi periode yang sama tahun lalu 42 bbtud. Produksi minyak dari lapangan ini 4.000 barel per hari.
Jika diakumulasikan total produksi migas dari lapangan yang dikelola perseroan di Indonesia sebesar 14.600 barel setara minyak per hari (boepd) pada semester I 2012, atau naik 35% dibandingkan periode yang sama tahun lalu 10.800 boepd.

Produksi migas dari Indonesia menyumbang 25% dari total produksi Premier Oil di berbagai negara sebesar 58.400 boepd  pada paruh pertama tahun ini. “Kinerja produksi yang membaik di Indonesia dari Blok West Natuna Blok A," kata dia seperti dikutip dari keterangan resmi perseroan.
Saat ini Premier bekerja sama dengan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) terus berdiskusi dengan pembeli potensial mengenai penjualan gas tambahan sebesar 40 bbtud  ke konsumen domestik dari lapangan Gajah Baru.

Gde Pradnyana, Deputi Pengendalian Operasi BP Migas, menyatakan pasokan gas dari Lapangan Gajah Baru batal didistribusikan ke PT Krakatau Steel Tbk (KRAS), badan usaha milik negara di sektor aneka industri, karena perusahaan itu keberatan dengan harga yang dipatok. "Kami sedang menawarkannya ke PT PLN (Persero) untuk memenuhi pasokan gas di Batam," jelas dia.

M Suryadi Mardjoeki, Kepala Divisi Bahan Bakar Minyak dan Gas PLN, menyatakan perseroan masih melakukan pembicaraan terkait pasokan gas dari Lapangan Gajah Baru. Kemungkinan PLN tidak akan menyerap seluruh pasokan gas tersebut.

Rudi Rubiandini, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sebelumnya mengatakan dipilihnya untuk menerima pasokan dari Lapangan Gajah Baru karena pulau itu membutuhkan gas. Selain itu, harga beli gas juga lebih murah jika dibandingkan gas itu didistribusikan ke Jawa.

Harga jual gas ke Batam sekitar US$ 4,9 per juta british thermal unit (mmbtu) ditambah biaya transportasi US$ 1,5 per mmbtu. Sedangkan jika dibawa ke Jawa, harga gas melonjak menjadi US$ 9,8 per mmbtu. "Inilah yang membuat Krakatau Steel enggan mengambil gas dari Lapangan Gajah Baru,” katanya.

Gas dari Lapangan Gajah Baru awalnya memang untuk memasok pembangkit milik PLN di Batam. Namun karena ketidaksiapan pipa, gas rencananya akan dialirkan ke konsumen Singapura. Sebagai gantinya, PLN akan mendapat pasokan dari Blok Koridor milik ConocoPhilips ke pembangkit listrik tenaga gas uap (PLTGU) Muara Tawar. Sehingga gas akan mengalir melalui pipa South Sumatra West Java (SSWJ) milik PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS).

Namun kapasitas penyaluran dari Muara Bekasi hingga ke PLTGU Muara Tawar sudah penuh. Kapasitas meter di Muara Bekasi yaitu 530 juta kaki kubik per hari (mmscfd). Kapasitas tersebut sudah dipakai untuk mengalirkan gas dari Lapangan Grissik 370-400 mmscfd dan Lapangan Jambi Merang 150 mmscfd. (Sumber: Indonesia Finance Today)

Minggu, 26 Agustus 2012

BATUBARA DAN KETAHANAN ENERGI NASIONAL

Oleh Bambang Dwi Djanuarto
Praktisi Energi - Pendiri Indonesia Energy Review*

Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai rapat di kantor pusat PT Pertamina tentang Ketahanan Energi memang terasa nikmat ditelinga dengan berusaha meyakinkan publik bahwa Indonesia bisa memiliki Ketahanan Energi pada tahun 2018, tidak lama lagi, hanya enam tahun dari sekarang. Asumsi yang digunakan adalah melimpahnya pasokan energi berupa gas dari lapangan gas raksasa seperti East Natuna, Masela dan produksi minyak dari Blok Cepu. Ditambah lagi dengan rencana pembangunan kilang minyak baru agar Bangsa ini bisa mendapatkan tambahan produk BBM dan mengurangi impor untuk memenuhi pasokan BBM domestik yang terus melonjak. Terasa nikmat di telinga.
Disaat yang sama, hiruk pikuk terjadi di sektor energi Indonesia, sejumlah Ormas Islam menggugat keberadaan Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi melalui judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Tidak ketinggalan pula, Serikat Pekerja Pertamina menggugat Undang-Undang yang sama ke Mahkamah Konstitusi. Kedua kelompok ini menilai Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 meruntuhkan kedaulatan Negara dan mengancam Ketahanan Energi Nasional.
Meski dua kejadian diatas nampak berbeda namun memiliki kesamaan yaitu menginginkan adanya Ketahanan Energi Nasional yang kuat sehingga Bangsa ini tidak hanya menjadi Bangsa yang tergantung terhadap Bangsa lain. Sebuah nilai prinsip yang memang layak diperjuangkan sebagai sebuah Bangsa yang berdaulat.
Namun, baik Presiden maupun Ormas Islam nampaknya lupa bahwa energi tidak hanya minyak dan gas, masih banyak energi lainnya_baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan_yang potensial untuk dikembangkan agar dapat meningkatkan Ketahanan Energi Nasional.
Ormas Islam yang sibuk menggugat Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi nampaknya lupa bahwa sumber daya alam Indonesia yang tidak terbarukan, tidak hanya minyak dan gas bumi tapi juga batubara. Demikian pula, Presiden nampaknya sedikit melupakan hal tersebut.
Batubara, demikian namanya, di Indonesia ini benar-benar seperti barang yang tidak terlalu berharga. Batubara tidak diperlakukan sebagai sumber energi yang utama padahal jumlahnya masih cukup berlimpah jika dibandingkan minyak dan gas, masih ada sekitar 28 miliar ton cadangan batubara di Indonesia. Bahkan tidak juga diperlakukan sebagai sumber pendapatan Negara yang maksimal.
Batubara saat ini, di Indonesia, hanya diperlakukan sebagai komoditas barang dagangan yang tidak strategis. Dikeruk, diangkut ke kapal dan dikirim ke pembeli yang mayoritas adalah pembeli di luar negeri alias ekspor, sama sekali tidak diperlakukan sebagai sumber daya alam yang strategis yang dapat meningkatkan Ketahanan Energi Nasional.
Bayangkan, Indonesia hanya menduduki ranking ke-14 pengguna energi batubara di dunia dengan jumlah konsumsi batubara tahun 2010 hanya 71 juta ton, padahal cadangan yang kita punya jumlahnya miliaran ton. Sungguh ironis karena akibat tidak optimalnya penggunaan batubara sebagai energi di domestik, Indonesia terpaksa melakukan impor minyak untuk memenuhi kebutuhan energinya.
Sementara pada tahun 2012, produksi batubara Indonesia akan mencapai 380 juta ton menurut versi Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia dan sebesar 332 juta ton menurut versi Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dimana sebanyak 75% diekspor ke negara lain seperti China, Amerika dan India. Artinya tahun ini sekitar 249 juta ton hingga 285 juta ton batubara Indonesia diekspor untuk kepentingan energi negara lain. Hal ini menunjukkan bahwa saat ini di Indonesia, batubara tidak diperlakukan sebagai energi yang dapat meningkatkan Ketahanan Energi Nasional.
Tidak hanya itu, batubara tidak juga dianggap sebagai sumber pendapatan Negara yang maksimal. Produksi batubara saat ini saat ini jika dikonversi menjadi setara minyak maka akan berkisar 3,5 juta barel setara minyak per hari, jauh lebih tinggi dari gabungan produksi gas dan minyak bumi Indonesia yang mencapai 2,4 juta barel per hari saat ini namun pendapatan dari sektor Pertambangan Umum jauh lebih rendah.
Pada tahun 2011 pendapatan Negara dari Pertambangan Umum hanya sebesar Rp77,3 triliun, jauh dibawah penerimaan Negara dari Sektor migas yang mencapai Rp272 triliun padahal jumlah yang diproduksikan jauh lebih banyak batubara ketimbang minyak dan gas. Bahkan, jangan sampai lupa 75% produksi batubara tersebut juga diekspor sehingga Indonesia saat ini benar-benar kehilangan batubara sebagai energi maupun sumber pendapatan Negara yang maksimal. Sayangnya hal ini tidak disadari oleh para penggugat Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi bahwa Ketahanan Energi Nasional justru terancam akibat tidak diperlakukannya batubara sebagai sumber energi maupun pendapatan Negara yang optimal.
Jenis Energi
Jumlah Produksi
Ekspor
Penerimaan Negara (2011)
Minyak dan Gas
2,4 juta barel setara minyak per hari
Sekitar 40% dari total produksi minyak dan gas
Rp272 Triliun
Batubara
3,5 juta barel setara minyak per hari
Sekitar 75% dari total produksi batubara
Rp77,3 Triliun (termasuk pertambangan mineral)
Dalam beberapa tahun kedepan, produksi batubara diperkirakan bisa mencapai 500 juta ton per tahun dan tanpa adanya perubahan kebijakan menyangkut batubara yang saat ini hanya dianggap sebagai komoditas tidak strategis, bukan energi, maka Indonesia telah kehilangan kesempatannya untuk meningkatkan Ketahanan Energi Nasional akibat semua aktor melupakan besarnya potensi batubara sebagai sumber Ketahanan Energi Nasional.

*artikel ini merupakan pendapat penulis pribadi,
bukan cerminan pendapat institusi tempat penulis bekerja

NEGARA BERDAULAT PENUH ATAS SUMBER DAYA MIGAS

(Sumber : Kompas)
Bangsa Indonesia akan merayakan kemerdekaan yang ke 67 pada tahun ini namun perjuangan belum usai. Perjuangan mengisi kemerdekaan dan menjaga kedaulatan Negara termasuk di sektor hulu minyak dan gas bumi harus terus dilakukan sesuai dengan amanat dalam Pasal 33 ayat 3  UUD 1945 yang menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Didalam pengelolaan di sektor hulu migas di Indonesia, hal tersebut diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) dimana sebelumnya diatur berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara.
Saat ini banyak kalangan menilai UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan meruntuhkan kedaulatan Negara, sebagian kalangan lainnya menilai sumber daya migas Indonesia sudah dikuasai asing atau pro-asing dan menyatakan bahwa Undang-Undang sebelumnya jauh lebih baik. Benarkah demikian?
Fakta seharusnya lebih bicara daripada rumors dan agitasi murahan seperti yang disampaikan para pengamat atau serikat pekerja tertentu.  Sebab jika disebut pro-asing maka dapat disampaikan bahwa sebagian besar kontrak yang ditandatangan di jaman Undang-Undang No. 8 Tahun 1971 hampir seluruhnya Pertamina berkontrak dengan perusahaan asing untuk pengelolaan blok migas, perusahaan nasional hanya ada sekitar tiga perusahaan saja.
Perlu dipahami bahwa Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi merupakan salah satu buah hasil perjuangan reformasi tahun 1998 untuk mendorong akuntabilitas, tata kelola industri dan manajemen pengelolaan industri hulu migas yang lebih baik serta mendukung gerakan anti korupsi. UU ini beberapa kali kandas saat diajukan untuk disahkan di era Orde Baru dan pada akhirnya berhasil disahkan setelah era reformasi berjalan di tahun 2001.
Prinsip yang paling utama dari UU Migas adalah Negara Berdaulat Penuh atas kekayaan alam migas Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 UU Migas:

Pasal 4  UU Migas ayat (1) : Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis tak terbarukan yang terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara.


Pasal 4 UU Migas ayat (2) : “Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan.

Pasal 4 UU Migas ayat (3) : Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 23.


Pasal tersebut dengan sendirinya mematahkan argumentasi banyak kalangan yang menilai kedaulatan Negara telah runtuh di sektor hulu migas sebab Negara menguasai sumber daya alam migas yang diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai Kuasa Pertambangan dengan membentuk Badan Pelaksana. Pasal tersebut juga tidak bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 karena Badan Pelaksana dibentuk untuk pengendalian kegiatan hulu dibidang minyak dan gas bumi. Ini adalah implementasi UUD 1945 yang memberikan mandat kepada negara untuk pengelolaan (beheersdaad).

Selain itu, kedaulatan Negara juga ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (1): Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 19.  Dan Pasal 6 ayat (2): Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit memuat persyaratan : a.  kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan; b. pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana; c.  modal dan risiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap.

Dengan adanya pasal ini maka semakin dapat dipastikan bahwa kekayaan alam migas Indonesia tetap terjamin milik Pemerintah meskipun keberadaannya fisiknya bisa tidak di wilayah hukum Indonesia. Sebagai contoh misalnya saat pengiriman gas dalam bentuk LNG ke pembeli di luar negeri maka sepanjang LNG tersebut masih belum sampai di titik serah maka LNG tersebut masih milik Pemerintah dan sewaktu-waktu, kapanpun, dapat diminta kembali ke Indonesia jika mendesak dibutuhkan untuk pasokan domestik. Hal ini sangat mendukung Ketahanan Energi Nasional sebab Pemerintah adalah pemilik atas kekayaan alam migas selama belum berada di titik serah sehingga argumentasi bahwa sumber  daya alam migas kita dikuasai asing terbantahkan.

UU Migas juga mengandung semangat reformasi untuk membangun tata kelola industri hulu migas yang lebih baik dan efisien sehingga dipisahkan antara fungsi bisnis dan fungsi Pemerintah (pelaksana pengawasan dan pengendalian) yang sebelumnya semuanya berada di tangan Pertamina. Untuk pengawasan kegiatan usaha hulu diserahkan ke BP Migas, pengawasan kegiatan hilir diserahkan ke BPHMigas, sementara Pertamina hanya sebagai BUMN. Hal ini bertujuan agar industri hulu migas lebih tertata dan BUMN lebih fokus mengembangkan bisnisnya. Terbukti, saat ini Pertamina dapat lebih fokus untuk meningkatkan produksi migasnya hingga diatas 100.000 barel per hari dari sebelumnya dibawah 100.000 barel per hari saat masih merangkap fungsi Pemerintah.

Semangat reformasi untuk mendorong transparansi, akuntabilitas dan anti korupsi juga terkandung didalam UU Migas dimana setelah UU Migas dilahirkan, semua hasil pendapatan dari kegiatan Migas langsung masuk kedalam rekening Pemerintah padahal sebelumnya hasil pendapatan migas masuk dalam rekening Pertamina.

Dengan demikian, sudah menjadi kewajiban kita bersama menjaga ruh reformasi yang terkandung didalam UU Migas agar nilai-nilai reformasi dapat terus kita pertahankan dan sempurnakan di masa depan, bukan sebaliknya membunuh semangat reformasi dan kembali ke masa lalu.

    

*Sejumlah perbedaan sebelum dan sesudah UU Migas diberlakukan dapat dilihat dalam tabel berikut:
 
UU No. 8 Tahun 1971 Tentang  Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas  Bumi Negara
UU Migas No 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi
Dampak Setelah UU Migas No. 22 Tahun 2001
Pertamina sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan Migas
Pemerintah sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan Migas membentuk BP Migas untuk melakukan pengendalian kegiatan Hulu Migas
·Kedaulatan atas sumber daya alam khususnya migas sepenuhnya milik Negara sesuai dengan UUD 1945
·Kontraktor Kontrak Kerja Sama hanya pihak yang melaksanakan pencarian dan produksi migas tapi bukan pemilik sumber daya alam migas
·Tata kelola industri yang lebih sehat dan baik dimana Pertamina tidak lagi merangkap sebagai regulator dan player sehingga dapat dihindari terjadinya konflik kepentingan dalam pengelolaan industri hulu migas
Kontrak Karya dengan perusahaan asing dilakukan sejak tahun 1960 dan dirubah menjadi Production Sharing Contract dengan perusahaan asing sejak tahun 1977
Kontrak Kerja Sama (cooperation contract) dilakukan dengan perusahaan Nasional dan asing
·Keterlibatan perusahaan Nasional dalam pengelolaan hulu  migas semakin terbuka
·Peran daerah melalui BUMD dalam pengelolaan hulu migas semakin terbuka
·Wilayah Kerja Migas yang tidak pernah dikelola sebelumnya menjadi lebih optimal pengelolaannya
Hasil dari kegiatan Migas masuk kedalam rekening Pertamina
Hasil dari kegiatan industri hulu migas masuk ke rekening Pemerintah
·Akuntabilitas dalam penerimaan sektor hulu migas lebih terjaga dan mencegah terjadi kebocoran serta korupsi
Pertamina sebagai badan usaha (Profit)
BP Migas sebagai badan hukum (Non Profit)
·BP Migas lebih fokus dalam pengendalian di industri hulu migas
·Pertamina sebagai badan usaha lebih fokus untuk mengembangkan  bisnisnya
Audit dilakukan internal Pertamina dan BPK
Audit dilakukan Internal BP Migas, Audit eksternal oleh BPK dan BPKP, Ditjen Pajak
·Pengawasan lebih ketat dan komprehensif mencegah terjadinya penyimpangan
Negara secara langsung  terekspose terhadap risiko default (keuangan dan operasional) yang terjadi di industri hulu migas (KKKS) karena Pertamina sebagai Badan Usaha menjadi pemegang Kuasa Pertambangan
Risiko default yang terjadi pada  industri hulu migas  hanya terbatas pada aset BP Migas sebagai BHMN.
 
·Mitigasi risiko lebih dapat terjaga sehingga dapat diantisipasi jika terjadi sengketa antara BP Migas dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama maka hanya terbatas pada aset BP Migas saja.