Jakarta – Indonesia Mining Association (IMA) mendesak Pemerintah melakukan
amandemen terhadap UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara karena
dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal 8 UU
No. 4/2009 menyatakan bahwa pengaturan kewenangan untuk mengeluarkan IUP
beserta persyaratan pelengkap lainnya berada di tangan pemerintah
kota/kabupaten. Menurut Pemerintah No: 24 tahun 2012, pasal 112B wewenang
perpanjangan KK/PKP2B dalam bentuk IUP berada di tangan Menteri ESDM kedua hal
tersebut berpotensi untuk dipertentangkan.
Dalam
Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 disebutkan bahwa kekayaan alam di Indonesia dikuasai
oleh negara dan harus digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Dalam pelaksanaan
ketentuan Pasal 8 UU No.4/2009, penguasaan Negara seakan-akan dialihkan kepada
kepala pemerintahan tingkat kota/kabupaten.
“Satu-satunya
jalan bagi pemerintah untuk menyelesaikan kontradiksi regulasi ini adalah
dengan mengamandemen UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No: 4
tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Bila hal tersebut dilakukan maka
ambiguitas dalam pengeluaran IUP antara pemerintah pusat dan daerah akan
terselesaikan,“ kata Syahrir.
“Dengan
melakukan hal ini saja sebenarnya sudah dapat menyelesaikan kontradiksi
regulasi yang terkait dengan pengeluaran IUP. Seiring dengan itu, hal ini juga
akan menghapus kesimpangsiuran yang menghambat perkembangan sektor pertambangan
Indonesia,” kata Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA) Syahrir
Abubakar.
Menurutnya Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono memiliki pandangan yang tepat mengenai cara untuk
menyederhanakan kerangka regulasi yang kontradiktif dan simpang siur dalam
industri pertambangan. Hal ini dapat dilakukan dengan menyederhanakan proses
pengeluaran Izin Usaha Pertambangan (IUP), melalui perkuatan Pemerintah
Provinsi. “Namun, faktor keberhasilannya sangat tergantung dari apakah
Pemerintah dan DPR sepakat untuk melakukan Amandemen UU No: 4 tahun 2009
tentang Mineral dan Batubara, serta dihadirkannya Negara,” katanya.
Dia
melanjutkan Presiden SBY patut mendapatkan apresiasi karena telah berhasil
mengarahkan kebijakan dengan tepat. Pada tanggal 7 Agustus 2012 yang lalu,
Presiden menyatakan bahwa terlalu banyak pejabat yang terlibat dalam proses
pengeluaran IUP, ujarnya pada acara Media Briefing IMA yang bertemakan
Pengaruh
Perkembangan Regulasi Pertambangan Terhadap Kontrak Karya (KK), IUP, dan
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) di Jakarta.
“Perkembangan
yang diinginkan oleh Presiden sepertinya sesuai dengan yang diinginkan oleh
banyak pemangku kepentingan di industri pertambangan, yaitu menuju arah yang
lebih baik - lebih sedikit birokrasi dan lebih memiliki kejelasan dalam hal
persetujuan perizinan,” Syahrir menambahkan.
Namun, menurutnya
kesuksesan pernyataan tersebut terletak pada berhasil atau tidaknya pemerintah
untuk menyelaraskan regulasi-regulasi yang kontradiktif dan simpang siur yang
pada saat ini telah menyebabkan kekacauan di dalam industri pertambangan
Indonesia.
Syahrir
kembali menambahkan bahwa kesuksesan dalam menjalankan pernyataan Presiden
tersebut dapat diperbesar bila pemerintah melakukan amandemen terhadap UU
No.32/2004 mengenai Pemerintahan Daerah dan UU No: 4 tahun 2009 tentang Mineral
dan Batubara. Selain melakukan amandemen, pemerintah juga perlu mengatur
penempatan pejabat-pejabat dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) sebagai perwakilan negara di kantor dinas ESDM tingkat kota/kabupaten.
Tindakan
tersebut perlu dilakukan mengingat kewenangan pengelolaan tambang (termasuk perijinan)
telah di serahkan kepada Daerah melalui pasal 8 UU No: 4tahun 2009.
Salah satu
kontroversi dari regulasi yang ada diantaranya adalah Pasal 169a UU No.4/2009
yang menyatakan bahwa semua KK yang ditandatangani sebelum dikeluarkannya UU No.4/2009
akan tetap berlaku sampai habis masa berlakunya. Tetapi, Pasal 169b mengatakan
bahwa semua pemegang KK diperintahkan untuk menyesuaikan kontrak mereka dalam
waktu satu tahun sejak diterbitkannya UU No.4/2009, Kontroversi tersebut telah
menghambat rencana renegosiasi KK/PKP2B. Kecuali jika hal itu berkaitaana
renegosiasi dengan pendapatan negara. Lebih lanjut lagi, dalam Pasal 169c
dijelaskan bahwa pengecualian dalam Pasal 169B dimaksudkan untuk meningkatkan
pendapatan negara. Jika para pelaku industri pertambangan menyesuaikan kontrak
mereka saat ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka sektor penerimaan
negara dari pajak badan akan mengalami penurunan, karena yang diatur dalam
KK/PKP2B jauh lebih besar dari ketentuan yang saat ini tengah berlaku.
Syahrir
mengulangi pentingnya Pemerintah pusat untuk mempertimbangkan penempatan
pejabat dari Kementerian ESDM sebagai perwakilan negara di kantor dinas ESDM
tingkat Provinsi. Dengan melakukan hal ini, negara akan dapat mengendalikan
aktivitas di pemerintahan kota/kabupaten, terutama atas aktivitas pertambangan
yang melibatkan komoditi pertambangan yang bersifat vital atau strategis. (*)