Jakarta - PT Pertamina (Persero) mulai merintis pemanfaatan gas alam
cair (Liquefied Natural Gas/LNG) untuk bahan bakar bagi sektor
transportasi dan rumah tangga yang diharapkan dapat menekan konsumsi BBM,
mengurangi subsidi, dan menghemat devisa Negara.
Sebagai
bentuk komitmen dalam merintis pemanfaatan LNG untuk transportasi dan rumah
tangga, Pertamina melalui anak perusahaan, PT Badak NGL hari ini melakukan uji
coba penggunaan LNG untuk kendaraan operasional perusahaan. Selain itu, uji
coba juga dilakukan pada tiga unit kompor rumah tangga.
“Hari
ini merupakan titik awal pemanfaatan LNG bagi sektor transportasi dan rumah
tangga. Dimulai dari kendaraan operasional Badak NGL, diharapkan menjadi contoh
untuk kedepannya dapat diperluas pemanfaatannya, baik di sektor transportasi
maupun rumah tangga. Pertamina berkomitmen untuk semakin melengkapi
infrastruktur yang diperlukan demi suksesnya pemanfaatan LNG untuk keperluan
domestik di masa mendatang,” tutur Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan
ketika menyaksikan uji coba pemanfaatan LNG untuk transportasi dan rumah tangga
di lingkungan PT Badak NGL, Bontang melalui video conference hari ini.
Paradigma
bisnis LNG yang sebelumnya berorientasi pada ekspor, kini mulai berubah sejak
beroperasinya Floating Storage Regasification Unit Nusantara Regas 1 pada 24
Mei 2012, sebagai terminal penerima, penyimpan, dan regasifikasi LNG pertama di
Indonesia yang melayani kebutuhan gas untuk PT PLN. Menjawab era LNG domestik,
pengembangan berbagai aplikasi penggunaan LNG di dalam negeri semakin terbuka
lebar, termasuk di antaranya untuk sektor transportasi dan rumah tangga.
Berdasarkan
data statistik dari NGV Global, saat ini sudah terdapat kurang lebih 15 juta
kendaraan berbahan gas yang sedang beroperasi di dunia. Pencatatan tersebut
dilakukan terhadap semua jenis kendaraan yang berbahan bakar gas baik berupa
LNG, CNG dan LGV.
Dibandingkan
dengan bensin dan solar, LNG lebih ramah lingkungan karena dapat mengurangi
emisi sekitar 85%, dan dibandingkan CNG, LNG memiliki nilai densitas energi 3
(tiga) kali lebih besar pada volume yang sama. LNG dapat disimpan dalam tekanan
rendah (1 atmosfer), dan memiliki jarak tempuh yang lebih panjang.
Selain
itu, penggunaan LNG sebagai bahan bakar juga mampu mengurangi biaya operasional
kendaraan karena harga LNG yang lebih murah dibandingkan harga solar non
subsidi. Harga LNG berkisar di 18-20 USD/MMbtu, sedangkan solar non subsidi
sekitar Rp 9.807/liter atau setara dengan 31 USD/MMbtu. Bahan bakar LNG sangat
sesuai apabila digunakan oleh kendaraan berukuran besar dengan jarak
operasional yang jauh seperti bus, truk, dan lokomotif, maupun untuk sektor
angkutan laut.
Pertamina
melalui anak-anak perusahaannya, yaitu PT Pertamina Gas dan PT Badak NGL mulai
menggarap potensi pasar LNG, khususnya untuk sektor transportasi pertambangan
di Kalimantan. Pada tahap awal, keduanya telah menjalin kerjasama dengan PT
Indominco Mandiri, salah satu perusahaan besar tambang batu bara yang
beroperasi di Kalimantan, sebagai end user LNG.
Pada
tahap commissioning yang ditargetkan dimulai pada 1 Desember 2012,
sebanyak 4 inpit dump truck Indominco akan memanfaatkan LNG sebagai
bahan bakarnya dengan perkiraan kebutuhan LNG sekitar 60 MMbtud. Ketika
diimplementasikan secara penuh, terdapat sekitar 84 high dump truck yang
akan menggunakan LNG sebagai bahan bakar dengan kebutuhan LNG sekitar 3,97
BBtud.
Adapun,
potensi pemanfaatan LNG untuk sektor pertambangan batu bara di Kalimantan
diperkirakan mencapai sekitar 0,62 juta ton per tahun. Hal itu dengan asumsi
tingkat konsumsi Solar non subsidi dari empat perusahaan besar tambang batu
bara yang beroperasi di wilayah itu mencapai 1,62 juta Kiloliter per tahun.
Dalam
skala nasional, potensi pasar Solar di dalam negeri tahun 2012 sekitar 16,3
juta Kiloliter dan sebagiannya diperoleh melalui impor. Apabila dikonversi ke
gas sebanyak 20% saja, akan dapat menghemat devisa sebesar minimal US$1,43
miliar per tahun.
Selain
untuk sektor transportasi, LNG bisa diaplikasikan sebagai alternatif pengganti
LPG di rumah tangga (household). Di berbagai belahan dunia, gas alam
sudah lazim digunakan sebagai bahan bakar untuk kompor rumah tangga karena
lebih menjamin keamanan dan kebersihan emisi yang dihasilkan dibandingkan LPG.
LNG juga lebih murah
dibandingkan harga LPG yang harganya sekitar US$22 per MMbtu. Untuk nilai
energi yang sama, volume LNG yang diperlukan lebih rendah 14% dibandingkan
dengan LPG.
Untuk
merealisasikannya, memang membutuhkan sejumlah infrastruktur pendukung yang
harus dipersiapkan. Pengembangan LNG station di sejumlah wilayah Indonesia akan
tergantung pada sejumlah proyek Pertamina yang lain, seperti FSRU dan Mini LNG.
Pembangunan
FSRU sangat dibutuhkan untuk menjamin suplai LNG di daerah yang sudah besar
pasarnya namun kekurangan supply gas, misalnya di Jawa Barat, atau daerah yang
tidak memiliki sumber gas, seperti Jawa Tengah. Selain itu, Mini LNG Plant
dibutuhkan untuk memenuhi permintaan LNG pada daerah-daerah dekat sumber gas
skala kecil.(*)