Undang-undang
No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) selalu kontroversi.
Produk hukum era reformasi mi telah menerima tudingan sebelum disahk mi, ketika
regulasi ini sudah berusia lebih dari 10 tahun, tudingan tersebut tidak juga
Selain proses revisi yang sedang berjalan di parlemen, setidaknya dua
permohonan review atas undang-undang ini sedang diproses oleh Mahkamah Konstitusi.
Diluar arena
legal formal tersebut, tudingan atas UU Migas juga disuarakan oleh para
pengamat dalam diskusi-diskusi publik. Sayangnya, argumentasi yang diangkat
tidak dilengkapi dengan sejarah lahirnya UU Migas dan fakta objektif indpstri
sebelum dan sesudah regulasi ini lahir. Diskursus yang diangkat cendrung
sebatas membakar emosi publik dengan menyerang seluruh isi UU Migas,
menjadikannya kambing hitam atas segala persoalan tata kelola industri migas
saat ini. Benarkah demikian?
Perubahan
regulasi adalah proses yang menyita waktu dan energi. Oleh karena itu, harus
dipastikan proses ini membawa manfaat signifikan bagi tata kelola industri
migas ke depan. Revisi yang keliru justru merugikan negara kaiena menimbulkan
ketidakpastian hukum yang berujung pada lesunya investasi.
Perlu pemahaman
yang objektif dan konprehensif mengenai UU Migas dan peiurusan beberapa tudingan
mendasar atas regulasi ini.
Berikut beberapa
gugatan utama atas UU Migas:
Benarkah UU
Migas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945?
Memberikan
kesempatan kepada korporasi internasional tidak bertentangan dengan Pasal 33
UndangUndang Dasar 1945 (UUD 1945) karena pasal tersebut tidak melarang modal
asing, seperti yang dikatakan oleh Bapak pendiri bangsa ini Mohammad Hatta
dalam sebuah pertemuan dengan waki1-wakil organisasi rakyat dl gedung Sonosuko
di Solo pack tahun 1951:
“Untuk membangun
negara kita, kita tidek mempunyai kapital karena itu kita pakai kapital asing
untuk kepentingan kita. Kita anti kapitalisme tetapi tidak antikapital Kita
juga tidak segan-segan memakai tenaga bangsa asing karena kita memang
kekurangan tenaga ahli. Mereka Itu kita bayar menurut ukuran pembayaran
internasmonal yang memang tinggi jika dibandingkan dengan pembayaran kepada
tenaga tenaga ahli kita. Hal itu jangan diirikan karena mereka itu tidak
mempunyai kewajiban terhadap negara kita, sedang kita mempunyai kewajiban
terhadap negara dan bangsa,”.
Hatta
menambahkan ada sementara golongan dalam masyarakat saat itu yang khawatir
bahwa dengan memakal kapital asing, Indonesia akan jatuh kembali ke dalam
penjajahan. Terhadap orang-orang ini, Bung Hatta mengatakan bahwa mereka itu
masih dlhinggapi oleh restant-restant zaman kolonial yang minderwanderheitz
kompleks, dan zaman kolonial dahulu. Sebagai bangsa yang telah merdeka, kita
seharusnya mempunyai kepercayaan atas diri kita sendiri.
Hatta dalam
pidatonya pada Hari Koperasi, 12 Juli 1977, mengulangi kembali pengertian Pasal
33 tersebut dengan mengatakan, antana lain, “dikuasai oleh negara dalam pasal
ini tidak berarti negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan, atau ondenemer,
tetapi lebih tepat dikatakan bahwa kekuasaan negara ada pada membuat peraturan
guna melancarkan jalan ekonomi.
Pernyataan Hatta
tersebut di atas telah menjadi kebijakan di sektor migas seperti yang tercermin
dalam UU Migas yang menunjukkan tanggung jawab negara untuk memberikan
kesejahteraan sesuai amanat konstitusi. Dengan demikian, tidak benar bahwa UU
Migas bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 yang memberikan peluang kepada
korporasi internasional untuk memasuki bisnis migas di Indonesia. Yang benar
adalah, kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas memerlukan modal besar,
mempunyal risiko yang tinggi dan memerlukan keahlian khusus, sehingga mau tidak
mau Indonesia masih membutuhkan modal dan tenaga asing.
Benarkah UU
Migas telah menghilangkan kedaulatan negara atas sumber daya migas?
UU Migas
menegaskan bahwa kepemilikan sumber daya migas tetap berada di tangan
pemerintah sampai titik penyerahan, artinya negana melalui pemerintah merupakan
pemilik tunggal hasil produksi migas sampai titik serah penjualan.Jadi selama
itu masih di bumi Indonesia milk pemerintah. Sebagai contoh, saat kontrak karya
Caltex berhenti, seluruh minyak yang ada di pipa, jumlahnya jutaan barel,
menjadi milik pemerintah karena belum ditransfer ke titik ekspor.
Kedua, UU Migas
justru mengembalikan kuasa pertambangan yang dalam aturan sebelumnya berada di
tangan badan usaha (Pertamina) kepada negara atau pemerintah. Kuasa
pertambangan merupakan wewenang yang diberikan negara kepada pemerintah untuk
menyelenggarakan eksplorasi dan eksploitasi. Pemerintah kemudian membentuk
Badan Pelaksana (BP Migas) untuk melakukan pengendalian manajemen operasi
kegiatan eksplorasi dan eksploitasi tersebut. Pelaku usaha tidak mempunyal
kendali manajemen operasi. Sebagai contoh, apabila mereka mengajukan rencana
kerja dan anggaran, mereka tidak bisa memutuskan sendiri tanpa persetujuan dan
Badan Pelaksana.
UU Migas juga melindungi negara dan resiko tinggi pada bisnis
hulu migas melalui Pasal 6 ayat 2 pomn c yang berbunyi, “modal dan risiko
selunuhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap”. Segala biaya yang
diperlukan dalam masa eksplorasi dan eksploitasi menjadi beban kontraktor.
Pengembalian biaya tersebut sematamata diperhitungkan dari hasil migas (secara
in kind) jika migas itu memang ada dan dapat diproduksi secara komersil Apabila
satu wilayah kerja tidak berhasil menemukan cadangan migas yang komersil, biaya
yang telah dikeluarkan kontraktor sepenuhnya menjadi tanggungan dan risiko
kontraktor.
Saat ini
mayoritas wilayah kerja yang sudah berproduksi memang digarap oleh kontraktor
asing.
Akan tetapi, sebagian besar kontraktor tersebut mendapatkan wilayah
kerja pada era undang-undang sebelumnya, yaitu UU No. 8 tahun 1971. Selain
itu, terlepas dari jumlahnya yang banyak, posisi perusahaan asing tersebut
hanyalah sebagai kontraktor, sedangkan penguasaan sumber daya migas dan
manajemen operasi tetap berada di tangan pemerintah.
UU Migas juga
melindungi negara .‘dengan memitigasi resiko gugatan dalam kegiatan bisnis hulu
migas. UU Migas tidak menganut rezim izin atau konsesi melainkan rezim kontrak
dan dalam rezim ini negara bukanlah pihak dalam kontrak kerja sama. Adapun
pihak yang mewakili dan mengurus kepentingan negara dalam kontrak kerja sama
adalah BP Migas. Berbeda dengan negara, ketika BP Migas harus menanggung
kerugian, maka kerugian tersebut hanya sebatas aset-aset yang dimiliki BP Migas
dan tidak bisa menyeret aset-aset yang dimiliki oleh negara.
Investasi dalam
industri migas sangat besar, sehingga bila pembatasan atas penggantian kerugian
tidak ada, aset negara dapat dijadikan aset untuk menutupi kerugian kontraktor.
Dalam hal ini keberadaan BPMigas penting untuk memitigasi tanggung jawab negara
ketika terjadi gugatan ganti rugi dan kontraktor.
Benarkah UU
Migas mengerdilkan Pertamina dan perusahaan migas nasional lainnya?
Pertamina
sebagai BUMN Migas tetap menikmati beberapa privilege yang tidak diterima oleh
kontraktor lain. UU Migas memberikan prioritas kepada Pertamina untuk mendapat
bagian terhadap wilayah kerja yang akan berakhir. Keistimewaan lain yang
diterima oleh Pertamina adalah berkaitan dengan Wilayah Kerja. Undang-undang
mengatur bahwa setiap pelaku usaha hanya diberi satu wilayah kerja. Dengan
aturan ini, wilayah kerja yang satu tidak bisa melakukan konsolidasi biaya
cadangan wilayah kerja yang lain. Tetapi untuk Pertamina tetap diberikan
priviledge. Wilayah Kuasa Pertambangan Pertamina yang tersebar di berbagai
wilayah masih dianggap sebagai satu wilayah kerja.
UU Migas juga
menegaskan bahwa BUMD, koperasi, dan usaha kecil dapat berperan dalam kegiatan
hulu dan hilir migas. Artinya, dukungan tenhadap perusahaan nasional tidak
hanya terbatas pada Pentamina semata. Terkait dengan sektor hulu, UU Migas
bahkan memberikan kesempatan untuk memberikan Indonesian Participation (IP)
sebesar 10 persen kepada BUMD. IP ini diberikan setelah tahapan komersial
dimulai, artinya BUMD ini terlepas dan beban resiko tinggi di masa eksplorasi.
Benarkah dengan
UU Migas, sistem pengelolaan cost recovery yang diserahkan kepada Badan
Pelaksana (BP Migas) merugikan negara?
Cost recovery
merupakan pengembalian biaya operasi (operating cost) yang dikeluarkan oleh
kontraktor dan hasil produksi minyak dan gas bumi setelah kontraktor berhasil
menemukan migas secara komersial Pengembalian biaya tidak diberikan dalam
bentuk tunai, melaikan dalam bentuk minyak atau gas (inkind). Biaya operasi ini
tidak dikembalikan bila kontraktor tidak menemukan dan memproduksi migas secara
komersial
Ada dua
pemahaman keliru yang sering muncul saat mendiskusikan cost recovery. Pemahaman
pentama adalah keinginan untuk menekan cost recovery serendah-rendahnya.
Pemahaman ini jelas keliru karena cost recovery pada hakikathya memiliki
dimensi investasi. Menekan cost recovery serendah mungkin berarti mengurangi
peluang kontraktor untuk membiayai eksplorasi, pemelihanaan fasilitas, dan
optimasi produksi, sehingga dapat mengganggu kelangsungan produksi migas masa
mendatang.
Pemahaman keliru
yang kedua yang sering terjadi, dengan membandingkan nilal cost recovery dengan
produksi atau lifting. Sesungguhnya, cost recovery tidak memiliki hubungan
linear dengan produksi apalagi lifting. Perlu diingat sebagian besar
lapangan-lapangan minyak di Indonesia adalah lapangan tua dengan produksi yang
menurun di satu sisi, dan naiknya kebutuhan akan biaya untuk pemeliharaan di
sisi lain.. Selain itu, dana yang ditambahkan untuk eksplorasi atau operasional
dan investasi tidak serta merta meningkatkan produksi pada tahun yang sama,
karena memang dalam bisnis prosesnya akan ada beda waktu antara eksplorasi,
produksi, dan sampai ke lifting.
Penjelasan
tersebut di atas tidak serta merta membuat pengembalian cost recovery dilakukan
tanpa pengendalian. Saat ini, audit atas cost recovery dilaksanakan pada setiap
fase kegiatan operasi perminyakan, yaitu pada tahap perencanaan (preaudit),
pelaksanaan (current audit), dan post audit. Preaudit merupakan kegiatan
review, analisa, dan evaluasi atas setiap usulan Plan of Development (POD),
Work Program and Budget (WP&B), dan Authorization for Expendiwre (AFE) yang
diajukan oleh kontraktor migas. Current audit meliputi kegiatan pengawasan alas
pelaksanaan kegiatan operasi kontraktor migas berdasarkan rencana kegiatan yang
telah disetujui. Sedangkan post audit meliputi kegiatan pemeriksaan alas
perhitungan hasil operasi kontraktor migas yang terkait dengan penerimaan
negara (entitlement).
Di luar audit
tersebut, dalam rangka menjaga persentase keuntungan pemerintah tidak sampai
berkurang, Badan Pelaksana selalu menjaga besaran cost recovery tetap berada
pada kisaran 22 sampai 27 persen dari gross revenue. Pada akhirnya, recoverable
cost ini akan juga diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan Dirjen Pajak (Sumber, Kompas 9 Agustus 2012)