Rabu, 08 Agustus 2012

RAMAI-RAMAI MENGGUGAT UU MIGAS

Undang-undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) selalu kontroversi. Produk hukum era reformasi mi telah menerima tudingan sebelum disahk mi, ketika regulasi ini sudah berusia lebih dari 10 tahun, tudingan tersebut tidak juga Selain proses revisi yang sedang berjalan di parlemen, setidaknya dua permohonan review atas undang-undang ini sedang diproses oleh Mahkamah Konstitusi.

Diluar arena legal formal tersebut, tudingan atas UU Migas juga disuarakan oleh para pengamat dalam diskusi-diskusi publik. Sayangnya, argumentasi yang diangkat tidak dilengkapi dengan sejarah lahirnya UU Migas dan fakta objektif indpstri sebelum dan sesudah regulasi ini lahir. Diskursus yang diangkat cendrung sebatas membakar emosi publik dengan menyerang seluruh isi UU Migas, menjadikannya kambing hitam atas segala persoalan tata kelola industri migas saat ini. Benarkah demikian?

Perubahan regulasi adalah proses yang menyita waktu dan energi. Oleh karena itu, harus dipastikan proses ini membawa manfaat signifikan bagi tata kelola industri migas ke depan. Revisi yang keliru justru merugikan negara kaiena menimbulkan ketidakpastian hukum yang berujung pada lesunya investasi.

Perlu pemahaman yang objektif dan konprehensif mengenai UU Migas dan peiurusan beberapa tudingan mendasar atas regulasi ini.

Berikut beberapa gugatan utama atas UU Migas:

Benarkah UU Migas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945?
Memberikan kesempatan kepada korporasi internasional tidak bertentangan dengan Pasal 33 UndangUndang Dasar 1945 (UUD 1945) karena pasal tersebut tidak melarang modal asing, seperti yang dikatakan oleh Bapak pendiri bangsa ini Mohammad Hatta dalam sebuah pertemuan dengan waki1-wakil organisasi rakyat dl gedung Sonosuko di Solo pack tahun 1951:
“Untuk membangun negara kita, kita tidek mempunyai kapital karena itu kita pakai kapital asing untuk kepentingan kita. Kita anti kapitalisme tetapi tidak antikapital Kita juga tidak segan-segan memakai tenaga bangsa asing karena kita memang kekurangan tenaga ahli. Mereka Itu kita bayar menurut ukuran pembayaran internasmonal yang memang tinggi jika dibandingkan dengan pembayaran kepada tenaga tenaga ahli kita. Hal itu jangan diirikan karena mereka itu tidak mempunyai kewajiban terhadap negara kita, sedang kita mempunyai kewajiban terhadap negara dan bangsa,”.

Hatta menambahkan ada sementara golongan dalam masyarakat saat itu yang khawatir bahwa dengan memakal kapital asing, Indonesia akan jatuh kembali ke dalam penjajahan. Terhadap orang-orang ini, Bung Hatta mengatakan bahwa mereka itu masih dlhinggapi oleh restant-restant zaman kolonial yang minderwanderheitz kompleks, dan zaman kolonial dahulu. Sebagai bangsa yang telah merdeka, kita seharusnya mempunyai kepercayaan atas diri kita sendiri.

Hatta dalam pidatonya pada Hari Koperasi, 12 Juli 1977, mengulangi kembali pengertian Pasal 33 tersebut dengan mengatakan, antana lain, “dikuasai oleh negara dalam pasal ini tidak berarti negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan, atau ondenemer, tetapi lebih tepat dikatakan bahwa kekuasaan negara ada pada membuat peraturan guna melancarkan jalan ekonomi.

Pernyataan Hatta tersebut di atas telah menjadi kebijakan di sektor migas seperti yang tercermin dalam UU Migas yang menunjukkan tanggung jawab negara untuk memberikan kesejahteraan sesuai amanat konstitusi. Dengan demikian, tidak benar bahwa UU Migas bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 yang memberikan peluang kepada korporasi internasional untuk memasuki bisnis migas di Indonesia. Yang benar adalah, kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas memerlukan modal besar, mempunyal risiko yang tinggi dan memerlukan keahlian khusus, sehingga mau tidak mau Indonesia masih membutuhkan modal dan tenaga asing.

Benarkah UU Migas telah menghilangkan kedaulatan negara atas sumber daya migas?
UU Migas menegaskan bahwa kepemilikan sumber daya migas tetap berada di tangan pemerintah sampai titik penyerahan, artinya negana melalui pemerintah merupakan pemilik tunggal hasil produksi migas sampai titik serah penjualan.Jadi selama itu masih di bumi Indonesia milk pemerintah. Sebagai contoh, saat kontrak karya Caltex berhenti, seluruh minyak yang ada di pipa, jumlahnya jutaan barel, menjadi milik pemerintah karena belum ditransfer ke titik ekspor.

Kedua, UU Migas justru mengembalikan kuasa pertambangan yang dalam aturan sebelumnya berada di tangan badan usaha (Pertamina) kepada negara  atau pemerintah. Kuasa pertambangan merupakan wewenang yang diberikan negara kepada pemerintah untuk menyelenggarakan eksplorasi dan eksploitasi. Pemerintah kemudian membentuk Badan Pelaksana (BP Migas) untuk melakukan pengendalian manajemen operasi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi tersebut. Pelaku usaha tidak mempunyal kendali manajemen operasi. Sebagai contoh, apabila mereka mengajukan rencana kerja dan anggaran, mereka tidak bisa memutuskan sendiri tanpa persetujuan dan Badan Pelaksana. 

UU Migas juga melindungi negara dan resiko tinggi pada bisnis hulu migas melalui Pasal 6 ayat 2 pomn c yang berbunyi, “modal dan risiko selunuhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap”. Segala biaya yang diperlukan dalam masa eksplorasi dan eksploitasi menjadi beban kontraktor. Pengembalian biaya tersebut sematamata diperhitungkan dari hasil migas (secara in kind) jika migas itu memang ada dan dapat diproduksi secara komersil Apabila satu wilayah kerja tidak berhasil menemukan cadangan migas yang komersil, biaya yang telah dikeluarkan kontraktor sepenuhnya menjadi tanggungan dan risiko kontraktor.

Saat ini mayoritas wilayah kerja yang sudah berproduksi memang digarap oleh kontraktor asing. 

Akan tetapi, sebagian besar kontraktor tersebut mendapatkan wilayah kerja pada era undang-undang sebelumnya, yaitu UU No. 8 tahun 1971. Selain itu, terlepas dari jumlahnya yang banyak, posisi perusahaan asing tersebut hanyalah sebagai kontraktor, sedangkan penguasaan sumber daya migas dan manajemen operasi tetap berada di tangan pemerintah.

UU Migas juga melindungi negara .‘dengan memitigasi resiko gugatan dalam kegiatan bisnis hulu migas. UU Migas tidak menganut rezim izin atau konsesi melainkan rezim kontrak dan dalam rezim ini negara bukanlah pihak dalam kontrak kerja sama. Adapun pihak yang mewakili dan mengurus kepentingan negara dalam kontrak kerja sama adalah BP Migas. Berbeda dengan negara, ketika BP Migas harus menanggung kerugian, maka kerugian tersebut hanya sebatas aset-aset yang dimiliki BP Migas dan tidak bisa menyeret aset-aset yang dimiliki oleh negara.

Investasi dalam industri migas sangat besar, sehingga bila pembatasan atas penggantian kerugian tidak ada, aset negara dapat dijadikan aset untuk menutupi kerugian kontraktor. Dalam hal ini keberadaan BPMigas penting untuk memitigasi tanggung jawab negara ketika terjadi gugatan ganti rugi dan kontraktor.

Benarkah UU Migas mengerdilkan Pertamina dan perusahaan migas nasional lainnya?
Pertamina sebagai BUMN Migas tetap menikmati beberapa privilege yang tidak diterima oleh kontraktor lain. UU Migas memberikan prioritas kepada Pertamina untuk mendapat bagian terhadap wilayah kerja yang akan berakhir. Keistimewaan lain yang diterima oleh Pertamina adalah berkaitan dengan Wilayah Kerja. Undang-undang mengatur bahwa setiap pelaku usaha hanya diberi satu wilayah kerja. Dengan aturan ini, wilayah kerja yang satu tidak bisa melakukan konsolidasi biaya cadangan wilayah kerja yang lain. Tetapi untuk Pertamina tetap diberikan priviledge. Wilayah Kuasa Pertambangan Pertamina yang tersebar di berbagai wilayah masih dianggap sebagai satu wilayah kerja.

UU Migas juga menegaskan bahwa BUMD, koperasi, dan usaha kecil dapat berperan dalam kegiatan hulu dan hilir migas. Artinya, dukungan tenhadap perusahaan nasional tidak hanya terbatas pada Pentamina semata. Terkait dengan sektor hulu, UU Migas bahkan memberikan kesempatan untuk memberikan Indonesian Participation (IP) sebesar 10 persen kepada BUMD. IP ini diberikan setelah tahapan komersial dimulai, artinya BUMD ini terlepas dan beban resiko tinggi di masa eksplorasi.

Benarkah dengan UU Migas, sistem pengelolaan cost recovery yang diserahkan kepada Badan Pelaksana (BP Migas) merugikan negara?
Cost recovery merupakan pengembalian biaya operasi (operating cost) yang dikeluarkan oleh kontraktor dan hasil produksi minyak dan gas bumi setelah kontraktor berhasil menemukan migas secara komersial Pengembalian biaya tidak diberikan dalam bentuk tunai, melaikan dalam bentuk minyak atau gas (inkind). Biaya operasi ini tidak dikembalikan bila kontraktor tidak menemukan dan memproduksi migas secara komersial

Ada dua pemahaman keliru yang sering muncul saat mendiskusikan cost recovery. Pemahaman pentama adalah keinginan untuk menekan cost recovery serendah-rendahnya. Pemahaman ini jelas keliru karena cost recovery pada hakikathya memiliki dimensi investasi. Menekan cost recovery serendah mungkin berarti mengurangi peluang kontraktor untuk membiayai eksplorasi, pemelihanaan fasilitas, dan optimasi produksi, sehingga dapat mengganggu kelangsungan produksi migas masa mendatang.

Pemahaman keliru yang kedua yang sering terjadi, dengan membandingkan nilal cost recovery dengan produksi atau lifting. Sesungguhnya, cost recovery tidak memiliki hubungan linear dengan produksi apalagi lifting. Perlu diingat sebagian besar lapangan-lapangan minyak di Indonesia adalah lapangan tua dengan produksi yang menurun di satu sisi, dan naiknya kebutuhan akan biaya untuk pemeliharaan di sisi lain.. Selain itu, dana yang ditambahkan untuk eksplorasi atau operasional dan investasi tidak serta merta meningkatkan produksi pada tahun yang sama, karena memang dalam bisnis prosesnya akan ada beda waktu antara eksplorasi, produksi, dan sampai ke lifting.

Penjelasan tersebut di atas tidak serta merta membuat pengembalian cost recovery dilakukan tanpa pengendalian. Saat ini, audit atas cost recovery dilaksanakan pada setiap fase kegiatan operasi perminyakan, yaitu pada tahap perencanaan (preaudit), pelaksanaan (current audit), dan post audit. Preaudit merupakan kegiatan review, analisa, dan evaluasi atas setiap usulan Plan of Development (POD), Work Program and Budget (WP&B), dan Authorization for Expendiwre (AFE) yang diajukan oleh kontraktor migas. Current audit meliputi kegiatan pengawasan alas pelaksanaan kegiatan operasi kontraktor migas berdasarkan rencana kegiatan yang telah disetujui. Sedangkan post audit meliputi kegiatan pemeriksaan alas perhitungan hasil operasi kontraktor migas yang terkait dengan penerimaan negara (entitlement).

Di luar audit tersebut, dalam rangka menjaga persentase keuntungan pemerintah tidak sampai berkurang, Badan Pelaksana selalu menjaga besaran cost recovery tetap berada pada kisaran 22 sampai 27 persen dari gross revenue. Pada akhirnya, recoverable cost ini akan juga diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan Dirjen Pajak (Sumber, Kompas 9 Agustus 2012)