Jakarta - Badan Pelaksana Kegiatan
Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS)
telah memenuhi semua kebutuhan pasokan gas untuk domestik khususnya pemenuhan gas
alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG). Disisi lain karena keterbatasan terminal
penerima (receiving terminal) yang hanya terdapat di lepas pantai utara Jakarta
maka produksi LNG yang tidak mampu diserap terpaksa dikirim ke pasar spot untuk
menghindari potensi kehilangan yang lebih besar.
Misalnya, kebutuhan LNG untuk
domestik pada tahun ini yang sudah terpenuhi adalah untuk pabrik pupuk PT Pupuk
Iskandar Muda sebesar 8 kargo, bahkan pasokan gas untuk kebutuhan pabrik pupuk
ini hingga tahun 2014 telah dapat diamankan.
Sementara untuk pasokan ke PT
Nusantara Regas yang mengelola Floating Storage Regasification Unit (FSRU)
Teluk Jakarta, BPMIGAS telah mengalokasikan LNG sebanyak 26 kargo pada tahun
ini namun pihak Nusantara Regas ternyata hanya mampu menyerap 14 kargo LNG pada
tahun ini.
Secara keseluruhan alokasi
gas untuk domestik saat ini terus mengalami peningkatan sejak tahun 2003 yang
hanya sebesar 2,38 triliun kaki kubik, melonjak menjadi 20,52 triliun kaki
kubik pada tahun 2011.
Peningkatan terbesar adalah
untuk alokasi industri dari hanya sebesar 0,1 triliun kaki kubik pada tahun
2003, meningkat tajam menjadi 10,18 triliun kaki kubik pada tahun 2011.
Sementara alokasi untuk
kelistrikan yang pada tahun 2003 hanya sebesar 1,18 triliun kaki kubik, saat
ini telah mencapai 7,01 triliun kaki kubik pada tahun 2011.
“BPMIGAS akan selalu memprioritaskan pasokan
gas untuk pasar domestik, tetapi hal ini mustahil dilaksanakan tanpa adanya ketersediaan
infrastruktur,” ujar Kepala Dinas Hubungan Kemasyarakatan dan Kelembagaan
BPMIGAS A. Rinto Pudyantoro di Jakarta, Rabu (29/8).
Akibat ketiadaan
infrastruktur penerima gas di domestik tersebut maka sejumlah LNG yang
seharusnya sudah dialokasikan untuk pasokan domestik terpaksa harus dijual ke
pasar spot karena jika dibiarkan berdampak pada penutupan sumur. “Jika sumur
gas harus ditutup maka akanmengganggu produksi gas secara keseluruhan bahkan
menyebabkan matinya sumur gas,” katanya.
Saat ini terdapat sejumlah
proyek gas yang memiliki potensi produksi cukup besar, namun jika tidak ada
infrastruktur yang disiapkan sesegera mungkin untuk dapat menerima gas tersebut
di domestik maka komitmen BPMIGAS untuk memenuhi kebutuhan gas domestik menjadi
terkendala.
Sebagai contoh dari sisi
hulu, Menteri ESDM Jero Wacik telah menyetujui alokasi gas dari kilang LNG
Tangguh Train-3 sebesar 40 persen untuk domestik, namun jika tidak ada
infrastruktur maka akan sulit untuk mengirimkan LNG tersebut ke pasar domestik.
Selain itu beberapa proyek
gas besar yang diharapkan bisa mulai beroperasi dalam beberapa tahun ke depan adalah Indonesia Deepwater Development
(IDD) dengan operator Chevron Indonesia Company; Lapangan Jangkrik, Blok Muara
Bakau dengan operator Eni Muara Bakau B.V; dan Lapangan Abadi, Blok Masela dengan
operator Inpex Masela LTD. Plan of
Development (POD) proyek-proyek ini sudah disetujui dan saat ini sedang
dalam proses konstruksi.
Sementara pengembangan Coal Bed Methane (CBM) oleh VICO Indonesia telah mulai
berproduksi dalam skala kecil dan diperkirakan akan memasok gas cukup besar ke
kilang LNG Bontang dalam beberapa tahun kedepan.
“Apabila kita perhatikan,
semua proyek-proyek tersebut berlokasi di wilayah timur Indonesia, beberapa
malah jauh di tengah laut. Tanpa infrastruktur terminal regasifikasi dan pipa yang
memadai, tidak mungkin gas dari proyek-proyek tersebut bisa dimanfaatkan oleh
domestik,” ujar Rinto.
Pengembangan infastruktur gas
dalam negeri memang tidak berjalan sesuai harapan. Misalnya saja, dari beberapa
floating storage regasification unit
(FSRU) yang direncanakan, baru satu yang sudah benar-benar beroperasi, yaitu
FSRU Jawa Barat yang dioperasikan oleh PT Nusantara Regas.
“Dalam rangka pemenuhan
kebutuhan gas domesik, industri hulu migas selalu siap memasok gas. Terbukti,
saat FSRU Jawa Barat ini rampung, kontraktor kks di Blok Mahakam langsung
mengirimkan cargo LNG ke Jawa Barat. Kita menunggu FSRU-FSRU lainnya untuk
segera beroperasi juga,” ujar Rinto.
BPMIGAS juga berharap
infrastruktur gas yang terkait dengan pemanfaatan gas untuk transportasi juga
dapat segera diselesaikan. Untuk mendukung konversi Bahan Bakar Minyak (BBM) ke
Bahan Bakar Gas (BBG) di sektor transportasi, bulan Mei lalu BPMIGAS telah
memerintahkan 16 Kontraktor KKS untuk memasok gas ke 21 perusahaan daerah yang
akan memasok lebih lanjut untuk keperluan BBG.(*)