Selasa, 31 Juli 2012

AKUISISI VENEZUELA TAK AMANKAN KETAHANAN ENERGI NASIONAL

PT Pertamina (Persero) meminta bantuan pemerintah untuk berunding dengan Venezuelasoal rencana investasi di negeri itu. Lobi itu dimaksudkan agar Pertamina bisa memperoleh minyak dari hasil kegiatan investasi di Venezuela.

Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko Pertamina Afdal Bahaudin mengatakan, sesuai dengan kebijakan Venezuela, investor hanya mendapat bagian berupa dividen, dan bukan minyak. Namun Pertamina menginginkan investasinya bisa menjadi off-taker minyak produksi Petrodelta SA. “Selain itu, kami juga meminta apa bisa dividen dalam bentuk crude oil,” ujarnya kepada Tempo.

Juni lalu, Pertamina membeli 32 persen kepemilikan Harvest Natural Resources Inc di ladang minyak Petrodelta SA senilai US$ 725 juta. Pemiliknnya adalah Petroleos deVenezuela SA (PDVSA), perusahaan nasional milik Venezuela.

Pembelian senilai Rp 6,5 triliun tersebut semua untuk menambah cadangan minyak Pertamina. Namunyang terjadi justru sebaliknya. Perusahaan minyak milik pemerintah mi hanya memperoleh dividen dan kegiatan mvestasinya tersebut. Tak hanya itu, perolehan dividen ditentukan oleh pemerintah Venezuela.

 Sumber Tempo yang mengetahui kegiatan investasi menilai kebijakan Pertamina memasuki Venezuela tak menguntungkan korporat. Alasannya kegiatan investasi minyak di negeri itu lebih banyak dipengaruhi kepentmgan politik. “Tak ada jaminan kepastian politik di sana, pemerintah yang berkuasa bisa tiba-tiba melakukan nasionalisasi kepemilikan asing,” ujarnya.

Padahal, kata dia,yang dibutuhkan Pertamina adalah menambah cadangan minyaknya di dalam dan luar negeri. “Kegiatan investasi di Venezuela sangat berisiko bagi Pertamina.”
Menurut Afdal, Pertamina meminta bantuan pemerintah untuk mendorong adanya jaminan kepastian dividen. Dia mengatakan, dasar kerja sama antar pemerintah ini juga dilakukan oleh negara-negara lain..”Negara lain, seperti Vietnam dan Cina, juga melakukan ini.”

Saat ini, kata dia, transaksi pembelian 32 persen saham Petrodelta dan Harvest Natural Resources Inc belum final. Pertamina dari Harvest baru menandatangam Sales-Purchase Agreement yang memiliki tiga syarat, yaitu persetujuan pemegang saham Pertamina atas transaksi, persetujuan pemegang saham Harvest atas transaksi, dan persetujuan pemerintah Venezuela atas peralihan kepemilikan saham.

Untuk itu, Afdal berharap, adanya dukungan pemerintah dalam bentuk pembicaraan antar pemerintahan sangat membantu. “Kalau cuma Pertamina, sulit buat kami berbisnis di sana, karena kami juga tidak bisa ikut manajemen di sana.”

Sejauh ini pihak komisaris telah merestui aksi korporasi itu. Presentasi informal kepada Kementerian Badan Usaha Milik Negara selaku pemegang saham juga telah dilakukan. Hanya, kata dia, persetujuan investasi ini baru bisa dikeluarkan dalam rapat umum pemegang saham pasca-transaksi.

Untuk kegiatan investasi di Venezuela in kata Afdal, Pertamina menggunakan dana hasil penjualan surat utang global (global bond) yang diterbitkan tahun lalu. Namun dia belum mau memerinci komposisi pendanaan. “Komposisi pendanaan, belum tahu. Nanti saja kalau transaksinya sudah jadi.”

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Rudi Rubiandini menyatakan mendukung kegiatan investasi Pertamina di luar negeri:

Namun, dia mengingatkan, investasi di Venezuela berbeda dengan dl negara lam. “Sangat sulit membawa minyak dari sana, karena negara itu sedang gencar melakukan nasionalisasi,” ujarnya kemarin.

Program nasionalisasi yang dilakukan Venezuela, kata dia, juga direncanakan diterapkan di Indonesia. “Tapi bukan sekarang.”

Sebelumnya, Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan mengatakan kelanjutan investasi ini masih melihat perkembangan stabilitas politik Venezuela. Apalagi, Oktober mendatang, negara yang dipimpinHugo Chavez ini akan menggelar pemilihan (Sumber: Koran Tempo)

Kamis, 26 Juli 2012

UU MIGAS TIDAK BERTENTANGAN DENGAN UUD 1945

Jakarta - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Erman Rajagukguk menilai, UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tidak bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.

Menurutnya, filosofi Pasal 33 UUD pada Ayat (2) yang berbunyi, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara dan Ayat (3) yang menyebutkan, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat, tidak bisa dimaknai sebagai anti asing.

"UU Migas tidak bertentangan dengan Pasal 33 UUD," katanya dalam keterangan tertulis, Kamis (26/7/2012).

Ia mengatakan, jika negara tidak mampu membiayai pengolahan sumber daya alam maka diperbolehkan mengundang pemodal asing atau meminjam uang dari negara lain.

Pasalnya, bisnis perminyakan merupakan kegiatan usaha yang membutuhkan modal besar, teknologi mutakhir dan risiko yang besar. Sehingga, dengan menggandeng asing maka semua itu bisa dibagi secara rata.

Ia menambahkan, keberadaan perusahaan asing dalam sektor perminyakan juga telah dikenakan bagi hasil sesuai sistem kontrak kerja sama (KKS) dan juga membayar pajak. Maka dari itu, tidak semua keuntungan dinikmati asing.

"Malah, sebagian besar hasilnya buat kita sebagai sumber penerimaan negara yang selanjutnya untuk kesejahteraan rakyat kita juga," katanya.

Kepala Dinas Humas dan Kelembagaan BP Migas, A Rinto Pudyantoro mengatakan, sektor hulu migas memang industri yang memerlukan biaya dan teknologi tinggi dengan risiko yang tinggi. Kontraktor migas butuh waktu 6 -10 tahun untuk mendapatkan cadangan yang potensial.

"Jika tidak menemukan cadangan migas yang komersial, maka segala risiko termasuk biaya yang telah dikeluarkan menjadi tanggungan kontraktor," katanya.

Tapi jika dianggap komersial, maka butuh lagi waktu 1-3 tahun untuk membangun fasilitas dan mencari pembeli. Menurut Rinto, selama ini sudah dibuka kesempatan seluas-luasnya kepada perusahaan swasta nasional, BUMN, BUMD bahkan koperasi dan usaha kecil juga dapat turut ambil bagian.

"Jadi, tidak eksklusif hanya kepada perusahaan asing," ujarnya.

Saat ini, Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menggelar sidang "judicial review" UU Migas yang diajukan sejumlah tokoh dan ormas Islam. Pokok gugatan adalah UU dinilai lebih mementingkan perusahaan asing, sehingga melanggar Pasal 33 UUD. (Sumber detikfinance.com)

Rabu, 25 Juli 2012

BPMIGAS OPTIMIS PENERIMAAN NEGARA TERLAMPAUI

Jakarta – Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS) memperkirakan penerimaan negara dari sektor hulu minyak dan gas bumi pada tahun ini akan tercapai bahkan melebihi target, sementara estimasi realisasi penerimaan negara pada semester pertama tahun ini telah mencapai US$18,81 miliar atau 56% dibandingkan target penerimaan dalam APBNP 2012 sebesar US$33,48 miliar.

Estimasi realisasi semester pertama tahun ini sebesar US$18,81 miliar sudah melebihi setengah dari target APBNP 2012 yang ditetapkan Pemerintah dan DPR disebabkan oleh faktor harga rata-rata minyak mentah dan keberhasilan melakukan renegosiasi harga gas.

Harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price / ICP) pada semester pertama tahun ini telah mencapai US$117 per barel, lebih tinggi dari harga rata-rata minyak mentah yang dipatok dalam APBNP 2012 sebesar US$105 per barel.

Sedangkan itu harga rata-rata penjualan gas bumi naik menjadi US$10,83 per juta  British thermal unit (Mmbtu) berkat keberhasilan melakukan renegosiasi harga gas, diatas harga rata-rata penjualan gas bumi yang diperkirakan dalam APBNP 2012 sebesar US$8,23 per Mmbtu. “Renegosiasi harga penjualan gas bumi benar-benar memberikan dampak signifikan terhadap penerimaan Negara,” ujar

Kepala Dinas Humas dan Hubungan Kelembagaan A. Rinto Pudyantoro di Jakarta hari ini (25/07).
Sementara hingga akhir tahun diperkirakan target penerimaan Negara akan dapat terlampaui dengan asumsi perkiraan harga rata-rata minyak mentah Indonesia dan harga penjualan gas bumi masih diatas perkiraan dalam APBNP 2012.

“Hingga akhir tahun, kami perkirakan penerimaan Negara akan mencapai US$34,14 miliar, diatas penerimaan Negara yang ditetapkan dalam APBNP 2012 sebesar US$33,48,” ujarnya.

Harga rata-rata minyak mentah Indonesia hingga akhir tahun diperkirakan sebesar US$108 per barel, diatas harga rata-rata minyak mentah yang dipatok dalam APBNP 2012 sebesar US$105 per barel.

Kenaikan harga penjualan gas bumi di sektor hulu juga menopang kenaikan penerimaan Negara hingga akhir tahun dimana harga rata-rata penjualan gas bumi di sektor hulu hingga akhir tahun diperkirakan sebesar US$9,62 per Mmbtu, lebih tinggi dari perkiraan harga rata-rata penjualan gas bumi dalam APBNP 2012 sebesar US$8,23 per Mmbtu.

“Jadi masalah harga bukan sama sekali tidak bisa kita kontrol, contohnya harga gas mampu kita kontrol sehingga dapat menambah penerimaan Negara secara signifikan untuk tahun ini,” kata Rinto.
Terkait dengan cost recovery pada semester pertama tahun ini, BPMIGAS berhasil mengendalikan cost recovery sehingga nilai cost recovery pada semester pertama tahun ini hanya sebesar 24% dari gross revenue sektor hulu minyak dan gas bumi. Sebelumnya diperkirakan cost recovery pada pertengahan tahun ini akan mencapai kurang lebih 26%. (*)

Jumat, 20 Juli 2012

BPMIGAS LANTIK EMPAT PEJABAT

Jakarta – Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS) R. Priyono hari ini melantik empat pimpinan  BPMIGAS yang baru sebagai upaya untuk meningkatkan kinerja organisasi dan menjawab tuntutan situasi yang membutuhkan penyegaran dan semangat baru.
Pejabat di jajaran pimpinan BPMIGAS yang dilantik hari ini adalah J. Widjonarko sebagai Wakil Kepala BPMIGAS menggantikan Hardiono yang diangkat menjadi Tenaga Ahli, Gde Pradnyana dilantik menjadi Deputi Pengendalian Operasi menggantikan Rudi Rubiandini yang telah menjadi Wakil Menteri, Gerhard M. Rumeser dilantik menjadi Deputi Umum menggantikan posisi Widjonarko dan Widhyawan Prawiraatmadja menjadi Deputi Perencanaan menggantikan Haposan Napitupulu yang diangkat menjadi Tenaga Ahli.

“Tantangan diluar cukup banyak, demikian juga di internal yang tidak sederhana karena itu kita perlu perubahan kareia situasi juga sudah berbeda. Dengan adanya darah baru sekarang ini maka rencana besar BPMIGAS kedepan harus direalisasikan dan pembentukan tim yang kuat harus dilakukan.

Kedepan akan ada beberapa proyek utama antara lain proyek Banyu Urip yang dikelola Mobil Cepu Ltd, proyek Indonesia Deepwater Development yang dikelola Chevron, proyek Masela yang dikelola Inpex dan proyek Muarabakau yang dikelola ENI Indonesia, semua proyek ini harus dapat terlaksana dengan baik dan tepat waktu,” ujar Kepala BPMIGAS dalam pidato pelantikan hari ini (20/07).

Priyono menegaskan bahwa cost recovery benar-benar harus dikendalikan sehingga tidak akan pernah ada lagi temuan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. “Jangan sampai kontrak kerjasama kita dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKS) yang sifatnya perdata menjadi menjurus pidana, karena itu perlu pengendalian cost recovery.”

Namun demikian dia berpesan harus disadari juga bahwa selain fungsi pengawasan dan pengendalian yang merupakan tugas dan kewenangan BPMIGAS, semangat yang ada dalam Kontrak Kerja Sama antara BPMIGAS dan Kontraktor KKS adalah mitra kerja bukan hanya birokrasi semata sehingga diperlukan sebuah pendekatan bisnis dan tidak semata birokrasi.

“BPMIGAS adalah investment manager, semua aspek pengendalian harus dalam kerangka menciptakan iklim investasi yang baik karena tanpa iklim investasi yang baik maka industri minyak dan gas bumi juga tidak akan baik,” katanya.

Selain itu, Kepala BPMIGAS menegaskan saat ini peran BPMIGAS tidak lagi hanya mendorong peningkatan kapasitas nasional namun harus mulai mendorong peningkatan kapasitas Pemerintah Daerah karena kesejahteraan di daerah juga merupakan tanggungjawab bersama. “BPMIGAS telah berhasil meningkatkan kapasitas Nasional, sekarang saatnya untuk mendorong peningkatan kapasitas Daerah sehingga ada pemerataan kesejahteraan dan peningkatan kemampuan Daerah,” ujar Priyono.

Terkait dengan sejumlah blok migas yang akan habis masa kontraknya mulai tahun ini hingga tahun 2021 dimana terdapat 29 wilayah kerja minyak dan gas bumi yang akan habis kontrak, dia menegaskan agar perencanaan untuk wilayah kerja tersebut harus lebih matang sehingga tidak ada masalah yang tertinggal ketika wilayah kerja dikembalikan ke Pemerintah. (*)