Minggu, 12 Agustus 2012

DILEMA HARGA GAS


Oleh Bambang Dwi Djanuarto
Pendiri Indonesia Energy Review*
 
Menentukan harga gas domestik seperti makan buah simalakama, dimakan bapak mati tapi tidak dimakan ibu yang mati. Pilihan seperti ini merupakan dilema yang sangat berat karena itu untuk dapat menentukan harga gas domestik sangat diperlukan kehati-hatian dan dibutuhkan jiwa besar. Kontroversi menyangkut harga jual gas semakin memanas belakangan ini, sejumlah kalangan saling menyampaikan pendapat yang membuat suasana riuh. Pelaku bisnis di industri hulu minyak dan gas bumi menginginkan harga jual gas naik, sebaliknya pelaku bisnis di industri hilir minyak dan gas bumi menginginkan harga jual gas tetap rendah.
Harga jual gas dari beberapa lapangan gas di hulu sebenarnya sudah disepakati untuk naik beberapa waktu lalu oleh PT Perusahaan Gas Negara antara lain kenaikan harga jual gas dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKS) Pemerintah yaitu Conocophillips karena harga yang selama ini dinikmati oleh PT Perusahaan Gas Negara terlalu rendah, hanya sebesar US$1,85 per juta british thermal unit (mmbtu).
Sejalan dengan persetujuan kenaikan tersebut, PT Perusahaan Gas Negara yang merupakan pembeli gas dari lapangan di hulu sekaligus juga merupakan pengangkut gas (transporter) dan penjual gas ke konsumen akhir (trader) berusaha menaikkan juga rata-rata harga jual gas yang selama ini berada di kisaran US$6,2 per mmbtu menjadi US$10,2 per mmbtu.
Hal inilah yang akhirnya memicu kontroversi, karena kalangan industri pengguna gas di sejumlah wilayah seperti Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah menjerit dengan kenaikan tersebut dan mengancam dapat gulung tikar dan melakukan PHK terhadap sejumlah karyawan untuk menekan biaya produksi yang naik sebagai dampak kenaikan harga gas.
Kontroversi tersebut berusaha dicari jalan tengahnya oleh Pemerintah dengan menunda rencana kenaikan harga gas oleh PT Perusahaan Gas Negara yang dinilai terlalu tinggi dan dapat meresahkan.
Namun demikian, persoalan tidak berhenti sampai disitu. PT Perusahaan Gas Negara yang sudah menyepakati harga beli gas dari hulu kini meminta agar harga beli gas tersebut diturunkan dengan alasan kenaikan harga jual ke konsumen ditunda oleh Pemerintah.
Bagaimanakah seharusnya harga gas domestik ini diperlakukan sehingga tidak perlu menimbulkan polemik seperti saat ini?
Mengapa  Harga Gas Harus Naik?
Harga jual didalam negeri dari lapangan gas di hulu, yang dikontrak sejak beberapa tahun lalu tidak pernah mengalami kenaikan atau penyesuaian meskipun saat ini pola pengembangan gas tidak sama lagi seperti dulu. Dahulu pengembangan gas bukanlah yang utama, kontraktor KKS lebih fokus untuk melakukan eksplorasi mencari minyak dan memproduksi emas hitam tersebut. Penemuan gas hanya dianggap sampingan, jika ditemukan dalam jumlah besar baru diproduksi, itupun untuk konsumsi ekspor demi memenuhi keekonomian nilai investasi yang sudah ditanam.
Saat ini hal tersebut sudah berubah, seiring dengan semakin tingginya harga minyak mentah maka gas menjadi salah satu alternatif energi yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Paradigma industri mulai berubah dari dahulu mengkonsumsi BBM hasil dari minyak mentah, kini mulai hiperaktif mengkonsumsi gas yang memang harganya lebih murah dari BBM, hal ini menjadi pemicu meningkatnya konsumsi gas domestik secara signifikan dalam beberapa bulan terakhir. Dengan kondisi seperti ini maka pengembangan lapangan-lapangan gas juga semakin memiliki nilai keekonomian meski investasi yang dibutuhkan cukup besar dengan volume produksi yang kecil.
Saat ini pengembangan lapangan-lapangan gas tidak lagi murah, dibutuhkan biaya pengeboran yang cukup besar sekitar 10 juta dolar untuk pengeboran satu sumur di daratan, untuk lokasi pengembangan gas di lepas pantai bahkan di laut dalam dibutuhkan investasi yang lebih besar, bisa mencapai 20 juta hingga 40 juta dolar untuk sekali pengeboran. Belum lagi biaya pembangunan fasilitas produksi gas yang bisa memakan investasi mulai dari 300 juta dolar hingga mencapai 2 miliar dolar. Biaya yang sama sekali tidak bisa terbilang murah.
Selain itu, agar produksi gas dapat terus berkesinambungan maka harus dilakukan eksplorasi guna mendapatkan tambahan cadangan-cadangan gas baru sehingga tingkat produksi gas dapat dijaga dan dalam jangka panjang akan ada terus kesinambungan pasokan gas.
Hal inilah yang harus disadari oleh banyak kalangan bahwa harga gas dari hulu yang sudah bertahun-tahun tidak berubah sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan investasi untuk pencarian cadangan baru agar ada produksi yang berkesinambungan. Jika tidak dilakukan penyesuaian harga jual gas di hulu maka tidak mustahil pasokan gas akan berhenti dan dampaknya industri dalam negeri juga akan kolaps karena pasokan gas yang terhenti.

Mengapa Harga Gas Boleh Rendah?
Dari sisi hilir, kenaikan harga gas di hulu sebenarnya masih dapat dimengerti mengingat harga jual tersebut tetap lebih murah jika dibandingkan membakar BBM yang harganya kini semakin melangit. Namun demikian bagi kalangan industri sebagai konsumen akhir pengguna gas, hal tersebut akan langsung berimbas pada meningkatnya biaya produksi yang harus ditanggung oleh perusahaan.
Tentunya dapat kita mengerti mengapa industri domestik sebagai konsumen akhir pengguna gas harus diberikan privillege agar memperoleh harga gas yang tidak terlalu tinggi mengingat hal ini dapat mendorong tingkat kompetitif industri nasional dibandingkan dengan industri di negara lain. Maka jelas, untuk hal ini harga gas tentu saya boleh rendah untuk kalangan industri domestik.
Lalu dimana persoalannya?
Persoalannya adalah industri tidak membeli gas langsung dari hulu sehingga rantai penjualan menjadi panjang. Saat ini industri membeli gas dari PT Perusahaan Gas Negara yang merupakan pedagang (trader) gas. Namun juga PT Perusahaan Gas Negara berlaku sebagai pihak pengangkut gas (transporter) sehingga menguasai akses transportasi jalur pengangkutan gas di Indonesia. Hal ini disebut sebagai monopoli alamiah (natural monopoli) karena masih sedikit yang memiliki akses tersebut.
Kondisi inilah yang menambah rente dalam mata rantai ekonomi yang harus dibayar oleh industri domestik. Rente inilah yang dinikmati oleh pemegang saham PT Perusahaan Gas Negara. Hal ini menyebabkan industri harus membayar harga gas lebih mahal dari yang sewajarnya.
Win-Win Solution
Tentunya tidak bisa disalahkan PT Perusahaan Gas Negara mencari rente dalam mata rantai ekonomi tersebut mengingat perusahaan tersebut juga telah mengeluarkan biaya dan investasi untuk membangun jaringan pipa transmisi dan distribusi untuk menyalurkan gas ke konsumena akhir.
Namun demikian, tidak serta merta perusahaan hanya mencari keuntungan semata tanpa memikirkan kepentingan nasional yang lebih besar, hanya semata mencari keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pemegang saham. Apalagi sebagai BUMN yang sebagian sahamnya masih dipegang Pemerintah, seharusnya PT Perusahaan Gas Negara lebih melihat harga gas dalam konteks yang lebih luas dari hanya keuntungan jangka pendek.
Dalam melakukan bisnis, ada etika kewajaran dalam memperoleh keuntungan. Tentu saja PT Perusahaan Gas Negara harus untung, tidak boleh dirugikan karena perusahaan tersebut juga harus terus menanamkan investasinya untuk pengembangan bisnisnya. Namun dalam hal ini, seharusnya disadari batas kewajaran dan kepatutan dalam mencari keuntungan dalam situasi yang natural monopoli. Di negara lain, peran trader tidak boleh merangkap sebagai transporter untuk menciptakan iklim usaha yang sehat dan tidak merugikan konsumen karena adanya natural monopoli.
Sebagai jalan tengah, mengingat harga gas bumi di hilir yang diperuntukan bagi industri dan PLN, sesuai dengan pasal 72 Peraturan Pemerintah (PP) No 30 Tahun 2009 ditetapkan oleh pemerintah maka Pemerintah bisa mempertimbangkan dengan bijaksana harga gas yang cukup memberikan jaminan pasokan berkesinambngan di hulu dan harga gas yang memberikan keuntungan wajar di hilir.
Keputusan Pemerintah menyangkut harga gas tersebut dapat membentuk iklim usaha yang sehat di hulu maupun hilir migas. Bagi pelaku hulu, kenaikan harga gas dapat mendorong pencarian cadangan gas baru agar ada produksi yang berkesinambungan. Sementara bagi transporter yang merangkap trader mendapat keuntungan yang wajar, tidak berlebihan sehingga industri sebagai konsumen akhir pengguna gas tidak dibebani tambahan biaya diluar kewajaran. Dan bagi Pemerintah tentunya kenaikan harga gas di hulu dapat mendongkrak penerimaan Negara yang sangat signifikan.

Sekilas Indonesia Energy Review:
Indonesia Energy Review adalah lembaga kajian oleh sejumlah jurnalis yang didirikan sejak tahun 2009 sebagai respon terhadap carut marutnya industri hulu dan hilir minyak dan gas bumi di Indonesia. Lembaga ini melakukan kajian terhadap skema bisnis di industri hulu dan hilir migas dengan landasan berfikir industri ini harus memberikan kontribusi terbesar bagi Negara dan  kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.