Oleh Bambang Dwi Djanuarto
Pendiri Indonesia Energy Review*
Menentukan harga gas domestik seperti makan buah simalakama,
dimakan bapak mati tapi tidak dimakan ibu yang mati. Pilihan seperti ini
merupakan dilema yang sangat berat karena itu untuk dapat menentukan harga gas domestik
sangat diperlukan kehati-hatian dan dibutuhkan jiwa besar. Kontroversi
menyangkut harga jual gas semakin memanas belakangan ini, sejumlah kalangan
saling menyampaikan pendapat yang membuat suasana riuh. Pelaku bisnis di
industri hulu minyak dan gas bumi menginginkan harga jual gas naik, sebaliknya
pelaku bisnis di industri hilir minyak dan gas bumi menginginkan harga jual gas
tetap rendah.
Harga jual gas dari beberapa lapangan gas di hulu sebenarnya
sudah disepakati untuk naik beberapa waktu lalu oleh PT Perusahaan Gas Negara
antara lain kenaikan harga jual gas dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKS)
Pemerintah yaitu Conocophillips karena harga yang selama ini dinikmati oleh PT
Perusahaan Gas Negara terlalu rendah, hanya sebesar US$1,85 per juta british
thermal unit (mmbtu).
Sejalan dengan persetujuan kenaikan tersebut, PT Perusahaan
Gas Negara yang merupakan pembeli gas dari lapangan di hulu sekaligus juga
merupakan pengangkut gas (transporter) dan penjual gas ke konsumen akhir
(trader) berusaha menaikkan juga rata-rata harga jual gas yang selama ini
berada di kisaran US$6,2 per mmbtu menjadi US$10,2 per mmbtu.
Hal inilah yang akhirnya memicu kontroversi, karena kalangan
industri pengguna gas di sejumlah wilayah seperti Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa
Tengah menjerit dengan kenaikan tersebut dan mengancam dapat gulung tikar dan
melakukan PHK terhadap sejumlah karyawan untuk menekan biaya produksi yang naik
sebagai dampak kenaikan harga gas.
Kontroversi tersebut berusaha dicari jalan tengahnya oleh
Pemerintah dengan menunda rencana kenaikan harga gas oleh PT Perusahaan Gas Negara
yang dinilai terlalu tinggi dan dapat meresahkan.
Namun demikian, persoalan tidak berhenti sampai disitu. PT
Perusahaan Gas Negara yang sudah menyepakati harga beli gas dari hulu kini
meminta agar harga beli gas tersebut diturunkan dengan alasan kenaikan harga
jual ke konsumen ditunda oleh Pemerintah.
Bagaimanakah seharusnya harga gas domestik ini diperlakukan sehingga
tidak perlu menimbulkan polemik seperti saat ini?
Mengapa Harga Gas
Harus Naik?
Harga jual didalam negeri dari lapangan gas di hulu, yang
dikontrak sejak beberapa tahun lalu tidak pernah mengalami kenaikan atau
penyesuaian meskipun saat ini pola pengembangan gas tidak sama lagi seperti
dulu. Dahulu pengembangan gas bukanlah yang utama, kontraktor KKS lebih fokus
untuk melakukan eksplorasi mencari minyak dan memproduksi emas hitam tersebut.
Penemuan gas hanya dianggap sampingan, jika ditemukan dalam jumlah besar baru
diproduksi, itupun untuk konsumsi ekspor demi memenuhi keekonomian nilai
investasi yang sudah ditanam.
Saat ini hal tersebut sudah berubah, seiring dengan semakin
tingginya harga minyak mentah maka gas menjadi salah satu alternatif energi
yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Paradigma industri mulai berubah dari
dahulu mengkonsumsi BBM hasil dari minyak mentah, kini mulai hiperaktif
mengkonsumsi gas yang memang harganya lebih murah dari BBM, hal ini menjadi
pemicu meningkatnya konsumsi gas domestik secara signifikan dalam beberapa
bulan terakhir. Dengan kondisi seperti ini maka pengembangan lapangan-lapangan
gas juga semakin memiliki nilai keekonomian meski investasi yang dibutuhkan
cukup besar dengan volume produksi yang kecil.
Saat ini pengembangan lapangan-lapangan gas tidak lagi murah,
dibutuhkan biaya pengeboran yang cukup besar sekitar 10 juta dolar untuk
pengeboran satu sumur di daratan, untuk lokasi pengembangan gas di lepas pantai
bahkan di laut dalam dibutuhkan investasi yang lebih besar, bisa mencapai 20
juta hingga 40 juta dolar untuk sekali pengeboran. Belum lagi biaya pembangunan
fasilitas produksi gas yang bisa memakan investasi mulai dari 300 juta dolar
hingga mencapai 2 miliar dolar. Biaya yang sama sekali tidak bisa terbilang
murah.
Selain itu, agar produksi gas dapat terus berkesinambungan
maka harus dilakukan eksplorasi guna mendapatkan tambahan cadangan-cadangan gas
baru sehingga tingkat produksi gas dapat dijaga dan dalam jangka panjang akan
ada terus kesinambungan pasokan gas.
Hal inilah yang harus disadari oleh banyak kalangan bahwa
harga gas dari hulu yang sudah bertahun-tahun tidak berubah sudah tidak sesuai
lagi dengan kebutuhan investasi untuk pencarian cadangan baru agar ada produksi
yang berkesinambungan. Jika tidak dilakukan penyesuaian harga jual gas di hulu
maka tidak mustahil pasokan gas akan berhenti dan dampaknya industri dalam
negeri juga akan kolaps karena pasokan gas yang terhenti.
Mengapa Harga Gas Boleh
Rendah?
Dari sisi hilir, kenaikan harga gas di hulu sebenarnya masih
dapat dimengerti mengingat harga jual tersebut tetap lebih murah jika
dibandingkan membakar BBM yang harganya kini semakin melangit. Namun demikian
bagi kalangan industri sebagai konsumen akhir pengguna gas, hal tersebut akan
langsung berimbas pada meningkatnya biaya produksi yang harus ditanggung oleh
perusahaan.
Tentunya dapat kita mengerti mengapa industri domestik
sebagai konsumen akhir pengguna gas harus diberikan privillege agar memperoleh harga gas yang tidak terlalu tinggi
mengingat hal ini dapat mendorong tingkat kompetitif industri nasional
dibandingkan dengan industri di negara lain. Maka jelas, untuk hal ini harga
gas tentu saya boleh rendah untuk kalangan industri domestik.
Lalu dimana persoalannya?
Persoalannya adalah industri tidak membeli gas langsung dari
hulu sehingga rantai penjualan menjadi panjang. Saat ini industri membeli gas
dari PT Perusahaan Gas Negara yang merupakan pedagang (trader) gas. Namun juga
PT Perusahaan Gas Negara berlaku sebagai pihak pengangkut gas (transporter)
sehingga menguasai akses transportasi jalur pengangkutan gas di Indonesia. Hal
ini disebut sebagai monopoli alamiah (natural monopoli) karena masih sedikit
yang memiliki akses tersebut.
Kondisi inilah yang menambah rente dalam mata rantai ekonomi
yang harus dibayar oleh industri domestik. Rente inilah yang dinikmati oleh
pemegang saham PT Perusahaan Gas Negara. Hal ini menyebabkan industri harus
membayar harga gas lebih mahal dari yang sewajarnya.
Win-Win Solution
Tentunya tidak bisa disalahkan PT Perusahaan Gas Negara
mencari rente dalam mata rantai ekonomi tersebut mengingat perusahaan tersebut
juga telah mengeluarkan biaya dan investasi untuk membangun jaringan pipa
transmisi dan distribusi untuk menyalurkan gas ke konsumena akhir.
Namun demikian, tidak serta merta perusahaan hanya mencari
keuntungan semata tanpa memikirkan kepentingan nasional yang lebih besar, hanya
semata mencari keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pemegang saham. Apalagi
sebagai BUMN yang sebagian sahamnya masih dipegang Pemerintah, seharusnya PT
Perusahaan Gas Negara lebih melihat harga gas dalam konteks yang lebih luas
dari hanya keuntungan jangka pendek.
Dalam melakukan bisnis, ada etika kewajaran dalam memperoleh
keuntungan. Tentu saja PT Perusahaan Gas Negara harus untung, tidak boleh
dirugikan karena perusahaan tersebut juga harus terus menanamkan investasinya
untuk pengembangan bisnisnya. Namun dalam hal ini, seharusnya disadari batas
kewajaran dan kepatutan dalam mencari keuntungan dalam situasi yang natural
monopoli. Di negara lain, peran trader tidak boleh merangkap sebagai
transporter untuk menciptakan iklim usaha yang sehat dan tidak merugikan
konsumen karena adanya natural monopoli.
Sebagai jalan tengah, mengingat harga gas bumi di hilir yang
diperuntukan bagi industri dan PLN, sesuai dengan pasal 72 Peraturan Pemerintah
(PP) No 30 Tahun 2009 ditetapkan oleh pemerintah maka Pemerintah bisa
mempertimbangkan dengan bijaksana harga gas yang cukup memberikan jaminan
pasokan berkesinambngan di hulu dan harga gas yang memberikan keuntungan wajar
di hilir.
Keputusan Pemerintah menyangkut harga gas tersebut dapat
membentuk iklim usaha yang sehat di hulu maupun hilir migas. Bagi pelaku hulu,
kenaikan harga gas dapat mendorong pencarian cadangan gas baru agar ada
produksi yang berkesinambungan. Sementara bagi transporter yang merangkap
trader mendapat keuntungan yang wajar, tidak berlebihan sehingga industri
sebagai konsumen akhir pengguna gas tidak dibebani tambahan biaya diluar
kewajaran. Dan bagi Pemerintah tentunya kenaikan harga gas di hulu dapat
mendongkrak penerimaan Negara yang sangat signifikan.
Sekilas Indonesia Energy Review:
Indonesia Energy Review adalah lembaga kajian oleh sejumlah
jurnalis yang didirikan sejak tahun 2009 sebagai respon terhadap carut marutnya
industri hulu dan hilir minyak dan gas bumi di Indonesia. Lembaga ini melakukan
kajian terhadap skema bisnis di industri hulu dan hilir migas dengan landasan
berfikir industri ini harus memberikan kontribusi terbesar bagi Negara
dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.