Minggu, 26 Agustus 2012

NEGARA BERDAULAT PENUH ATAS SUMBER DAYA MIGAS

(Sumber : Kompas)
Bangsa Indonesia akan merayakan kemerdekaan yang ke 67 pada tahun ini namun perjuangan belum usai. Perjuangan mengisi kemerdekaan dan menjaga kedaulatan Negara termasuk di sektor hulu minyak dan gas bumi harus terus dilakukan sesuai dengan amanat dalam Pasal 33 ayat 3  UUD 1945 yang menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Didalam pengelolaan di sektor hulu migas di Indonesia, hal tersebut diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) dimana sebelumnya diatur berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara.
Saat ini banyak kalangan menilai UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan meruntuhkan kedaulatan Negara, sebagian kalangan lainnya menilai sumber daya migas Indonesia sudah dikuasai asing atau pro-asing dan menyatakan bahwa Undang-Undang sebelumnya jauh lebih baik. Benarkah demikian?
Fakta seharusnya lebih bicara daripada rumors dan agitasi murahan seperti yang disampaikan para pengamat atau serikat pekerja tertentu.  Sebab jika disebut pro-asing maka dapat disampaikan bahwa sebagian besar kontrak yang ditandatangan di jaman Undang-Undang No. 8 Tahun 1971 hampir seluruhnya Pertamina berkontrak dengan perusahaan asing untuk pengelolaan blok migas, perusahaan nasional hanya ada sekitar tiga perusahaan saja.
Perlu dipahami bahwa Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi merupakan salah satu buah hasil perjuangan reformasi tahun 1998 untuk mendorong akuntabilitas, tata kelola industri dan manajemen pengelolaan industri hulu migas yang lebih baik serta mendukung gerakan anti korupsi. UU ini beberapa kali kandas saat diajukan untuk disahkan di era Orde Baru dan pada akhirnya berhasil disahkan setelah era reformasi berjalan di tahun 2001.
Prinsip yang paling utama dari UU Migas adalah Negara Berdaulat Penuh atas kekayaan alam migas Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 UU Migas:

Pasal 4  UU Migas ayat (1) : Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis tak terbarukan yang terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara.


Pasal 4 UU Migas ayat (2) : “Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan.

Pasal 4 UU Migas ayat (3) : Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 23.


Pasal tersebut dengan sendirinya mematahkan argumentasi banyak kalangan yang menilai kedaulatan Negara telah runtuh di sektor hulu migas sebab Negara menguasai sumber daya alam migas yang diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai Kuasa Pertambangan dengan membentuk Badan Pelaksana. Pasal tersebut juga tidak bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 karena Badan Pelaksana dibentuk untuk pengendalian kegiatan hulu dibidang minyak dan gas bumi. Ini adalah implementasi UUD 1945 yang memberikan mandat kepada negara untuk pengelolaan (beheersdaad).

Selain itu, kedaulatan Negara juga ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (1): Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 19.  Dan Pasal 6 ayat (2): Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit memuat persyaratan : a.  kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan; b. pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana; c.  modal dan risiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap.

Dengan adanya pasal ini maka semakin dapat dipastikan bahwa kekayaan alam migas Indonesia tetap terjamin milik Pemerintah meskipun keberadaannya fisiknya bisa tidak di wilayah hukum Indonesia. Sebagai contoh misalnya saat pengiriman gas dalam bentuk LNG ke pembeli di luar negeri maka sepanjang LNG tersebut masih belum sampai di titik serah maka LNG tersebut masih milik Pemerintah dan sewaktu-waktu, kapanpun, dapat diminta kembali ke Indonesia jika mendesak dibutuhkan untuk pasokan domestik. Hal ini sangat mendukung Ketahanan Energi Nasional sebab Pemerintah adalah pemilik atas kekayaan alam migas selama belum berada di titik serah sehingga argumentasi bahwa sumber  daya alam migas kita dikuasai asing terbantahkan.

UU Migas juga mengandung semangat reformasi untuk membangun tata kelola industri hulu migas yang lebih baik dan efisien sehingga dipisahkan antara fungsi bisnis dan fungsi Pemerintah (pelaksana pengawasan dan pengendalian) yang sebelumnya semuanya berada di tangan Pertamina. Untuk pengawasan kegiatan usaha hulu diserahkan ke BP Migas, pengawasan kegiatan hilir diserahkan ke BPHMigas, sementara Pertamina hanya sebagai BUMN. Hal ini bertujuan agar industri hulu migas lebih tertata dan BUMN lebih fokus mengembangkan bisnisnya. Terbukti, saat ini Pertamina dapat lebih fokus untuk meningkatkan produksi migasnya hingga diatas 100.000 barel per hari dari sebelumnya dibawah 100.000 barel per hari saat masih merangkap fungsi Pemerintah.

Semangat reformasi untuk mendorong transparansi, akuntabilitas dan anti korupsi juga terkandung didalam UU Migas dimana setelah UU Migas dilahirkan, semua hasil pendapatan dari kegiatan Migas langsung masuk kedalam rekening Pemerintah padahal sebelumnya hasil pendapatan migas masuk dalam rekening Pertamina.

Dengan demikian, sudah menjadi kewajiban kita bersama menjaga ruh reformasi yang terkandung didalam UU Migas agar nilai-nilai reformasi dapat terus kita pertahankan dan sempurnakan di masa depan, bukan sebaliknya membunuh semangat reformasi dan kembali ke masa lalu.

    

*Sejumlah perbedaan sebelum dan sesudah UU Migas diberlakukan dapat dilihat dalam tabel berikut:
 
UU No. 8 Tahun 1971 Tentang  Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas  Bumi Negara
UU Migas No 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi
Dampak Setelah UU Migas No. 22 Tahun 2001
Pertamina sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan Migas
Pemerintah sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan Migas membentuk BP Migas untuk melakukan pengendalian kegiatan Hulu Migas
·Kedaulatan atas sumber daya alam khususnya migas sepenuhnya milik Negara sesuai dengan UUD 1945
·Kontraktor Kontrak Kerja Sama hanya pihak yang melaksanakan pencarian dan produksi migas tapi bukan pemilik sumber daya alam migas
·Tata kelola industri yang lebih sehat dan baik dimana Pertamina tidak lagi merangkap sebagai regulator dan player sehingga dapat dihindari terjadinya konflik kepentingan dalam pengelolaan industri hulu migas
Kontrak Karya dengan perusahaan asing dilakukan sejak tahun 1960 dan dirubah menjadi Production Sharing Contract dengan perusahaan asing sejak tahun 1977
Kontrak Kerja Sama (cooperation contract) dilakukan dengan perusahaan Nasional dan asing
·Keterlibatan perusahaan Nasional dalam pengelolaan hulu  migas semakin terbuka
·Peran daerah melalui BUMD dalam pengelolaan hulu migas semakin terbuka
·Wilayah Kerja Migas yang tidak pernah dikelola sebelumnya menjadi lebih optimal pengelolaannya
Hasil dari kegiatan Migas masuk kedalam rekening Pertamina
Hasil dari kegiatan industri hulu migas masuk ke rekening Pemerintah
·Akuntabilitas dalam penerimaan sektor hulu migas lebih terjaga dan mencegah terjadi kebocoran serta korupsi
Pertamina sebagai badan usaha (Profit)
BP Migas sebagai badan hukum (Non Profit)
·BP Migas lebih fokus dalam pengendalian di industri hulu migas
·Pertamina sebagai badan usaha lebih fokus untuk mengembangkan  bisnisnya
Audit dilakukan internal Pertamina dan BPK
Audit dilakukan Internal BP Migas, Audit eksternal oleh BPK dan BPKP, Ditjen Pajak
·Pengawasan lebih ketat dan komprehensif mencegah terjadinya penyimpangan
Negara secara langsung  terekspose terhadap risiko default (keuangan dan operasional) yang terjadi di industri hulu migas (KKKS) karena Pertamina sebagai Badan Usaha menjadi pemegang Kuasa Pertambangan
Risiko default yang terjadi pada  industri hulu migas  hanya terbatas pada aset BP Migas sebagai BHMN.
 
·Mitigasi risiko lebih dapat terjaga sehingga dapat diantisipasi jika terjadi sengketa antara BP Migas dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama maka hanya terbatas pada aset BP Migas saja.