(Sumber : Kompas)
Bangsa Indonesia akan merayakan kemerdekaan yang
ke 67 pada tahun ini namun perjuangan belum usai. Perjuangan mengisi
kemerdekaan dan menjaga kedaulatan Negara termasuk di sektor hulu minyak dan
gas bumi harus terus dilakukan sesuai dengan amanat dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas
kekeluargaan, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Didalam pengelolaan di sektor hulu migas di
Indonesia, hal tersebut diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) dimana sebelumnya diatur berdasarkan
Undang-Undang No. 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas
Bumi Negara.
Saat ini banyak kalangan menilai UU Migas bertentangan
dengan UUD 1945 dan meruntuhkan kedaulatan Negara, sebagian kalangan lainnya
menilai sumber daya migas Indonesia sudah dikuasai asing atau pro-asing dan menyatakan
bahwa Undang-Undang sebelumnya jauh lebih baik. Benarkah demikian?
Fakta seharusnya lebih bicara daripada rumors dan
agitasi murahan seperti yang disampaikan para pengamat atau serikat pekerja
tertentu. Sebab jika disebut pro-asing
maka dapat disampaikan bahwa sebagian besar kontrak yang ditandatangan di jaman
Undang-Undang No. 8 Tahun 1971 hampir
seluruhnya Pertamina berkontrak dengan perusahaan asing untuk pengelolaan blok
migas, perusahaan nasional hanya ada sekitar tiga perusahaan saja.
Perlu dipahami bahwa Undang-Undang No. 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi merupakan salah satu buah hasil perjuangan reformasi
tahun 1998 untuk mendorong akuntabilitas, tata kelola industri dan manajemen
pengelolaan industri hulu migas yang lebih baik serta mendukung gerakan anti
korupsi. UU ini beberapa kali kandas saat diajukan untuk disahkan di era Orde
Baru dan pada akhirnya berhasil disahkan setelah era reformasi berjalan di
tahun 2001.
Prinsip yang paling utama dari UU
Migas adalah Negara Berdaulat Penuh atas kekayaan alam migas Indonesia
sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 UU Migas:
Pasal 4 UU
Migas ayat (1) : “Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis tak terbarukan
yang terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan
kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara.”
Pasal 4 UU Migas ayat (2) : “Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan.”
Pasal 4 UU Migas ayat (3) : “Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 23.”
Pasal tersebut dengan
sendirinya mematahkan argumentasi banyak kalangan yang menilai kedaulatan
Negara telah runtuh di sektor hulu migas sebab Negara menguasai sumber daya
alam migas yang diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai Kuasa Pertambangan
dengan membentuk Badan Pelaksana. Pasal tersebut juga tidak bertentangan dengan Pasal
33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 karena
Badan Pelaksana dibentuk untuk pengendalian kegiatan hulu dibidang minyak dan
gas bumi. Ini adalah implementasi UUD 1945 yang memberikan mandat kepada negara
untuk pengelolaan (beheersdaad).
Selain itu, kedaulatan
Negara juga ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (1): “Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1
dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 angka 19”. Dan
Pasal 6 ayat (2): “Kontrak
Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit memuat
persyaratan : a. kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada
titik penyerahan; b. pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana; c. modal dan risiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha
Tetap.
Dengan adanya pasal ini maka semakin dapat
dipastikan bahwa kekayaan alam migas
Indonesia tetap terjamin milik Pemerintah meskipun keberadaannya fisiknya
bisa tidak di wilayah hukum Indonesia. Sebagai contoh misalnya saat pengiriman
gas dalam bentuk LNG ke pembeli di luar negeri maka sepanjang LNG tersebut
masih belum sampai di titik serah maka LNG tersebut masih milik Pemerintah dan
sewaktu-waktu, kapanpun, dapat diminta kembali ke Indonesia jika mendesak
dibutuhkan untuk pasokan domestik. Hal ini sangat mendukung Ketahanan Energi Nasional sebab Pemerintah adalah pemilik
atas kekayaan alam migas selama belum berada di titik serah sehingga argumentasi
bahwa sumber daya alam migas kita dikuasai asing
terbantahkan.
UU Migas juga mengandung semangat
reformasi untuk membangun tata kelola industri hulu migas yang lebih baik dan
efisien sehingga dipisahkan antara fungsi bisnis dan
fungsi Pemerintah
(pelaksana pengawasan dan pengendalian) yang sebelumnya semuanya berada di
tangan Pertamina. Untuk pengawasan kegiatan usaha hulu diserahkan ke BP Migas, pengawasan
kegiatan hilir diserahkan ke BPHMigas, sementara Pertamina hanya sebagai BUMN. Hal ini bertujuan agar industri hulu migas lebih
tertata dan BUMN lebih fokus mengembangkan bisnisnya. Terbukti, saat ini
Pertamina dapat lebih fokus untuk meningkatkan produksi migasnya hingga diatas
100.000 barel per hari dari sebelumnya dibawah 100.000 barel per hari saat
masih merangkap fungsi Pemerintah.
Semangat reformasi untuk mendorong transparansi,
akuntabilitas dan anti korupsi juga terkandung didalam UU Migas dimana setelah
UU Migas dilahirkan, semua hasil pendapatan dari kegiatan Migas langsung masuk
kedalam rekening Pemerintah padahal sebelumnya hasil pendapatan migas masuk
dalam rekening Pertamina.
Dengan demikian, sudah menjadi kewajiban kita
bersama menjaga ruh reformasi yang terkandung didalam UU Migas agar nilai-nilai
reformasi dapat terus kita pertahankan dan sempurnakan di masa depan, bukan
sebaliknya membunuh semangat reformasi dan kembali ke masa lalu.
*Sejumlah perbedaan sebelum dan sesudah UU Migas
diberlakukan dapat dilihat dalam tabel berikut:
UU No.
8 Tahun 1971 Tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara
|
UU Migas
No 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi
|
Dampak Setelah
UU Migas No. 22 Tahun 2001
|
Pertamina
sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan Migas
|
Pemerintah sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan Migas membentuk BP Migas untuk melakukan pengendalian kegiatan Hulu Migas
|
·Kedaulatan atas sumber daya alam khususnya migas sepenuhnya milik
Negara sesuai dengan UUD
1945
·Kontraktor Kontrak Kerja Sama hanya pihak yang melaksanakan pencarian dan produksi migas tapi bukan pemilik sumber daya alam migas
·Tata kelola industri yang lebih sehat dan baik dimana
Pertamina tidak lagi merangkap sebagai regulator dan player sehingga dapat dihindari terjadinya konflik kepentingan dalam pengelolaan industri hulu migas
|
Kontrak Karya dengan perusahaan asing dilakukan sejak tahun 1960 dan dirubah menjadi Production Sharing Contract dengan perusahaan asing sejak tahun 1977
|
Kontrak Kerja Sama (cooperation contract) dilakukan dengan perusahaan Nasional dan asing
|
·Keterlibatan perusahaan Nasional dalam pengelolaan hulu migas semakin terbuka
·Peran daerah melalui BUMD dalam pengelolaan hulu migas semakin terbuka
·Wilayah Kerja Migas yang tidak pernah dikelola sebelumnya menjadi lebih
optimal pengelolaannya
|
Hasil dari kegiatan Migas masuk kedalam rekening Pertamina
|
Hasil
dari kegiatan industri hulu migas masuk ke rekening Pemerintah
|
·Akuntabilitas dalam penerimaan sektor hulu migas lebih terjaga dan mencegah terjadi kebocoran serta korupsi
|
Pertamina
sebagai badan usaha (Profit)
|
BP Migas sebagai badan hukum (Non Profit)
|
·BP Migas lebih fokus dalam pengendalian di industri hulu migas
·Pertamina sebagai badan usaha lebih fokus untuk mengembangkan bisnisnya
|
Audit dilakukan internal Pertamina dan BPK
|
Audit dilakukan Internal BP Migas, Audit eksternal oleh BPK dan BPKP, Ditjen
Pajak
|
·Pengawasan lebih ketat dan komprehensif mencegah terjadinya penyimpangan
|
Negara secara
langsung terekspose
terhadap risiko
default (keuangan dan
operasional) yang terjadi
di industri hulu
migas (KKKS) karena
Pertamina sebagai Badan
Usaha menjadi pemegang
Kuasa Pertambangan
|
Risiko
default yang terjadi pada
industri hulu
migas hanya
terbatas pada
aset BP Migas
sebagai BHMN.
|
·Mitigasi risiko lebih
dapat terjaga sehingga dapat diantisipasi jika terjadi sengketa antara BP Migas
dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama maka hanya terbatas pada aset BP Migas
saja.
|