Minggu, 26 Agustus 2012

BATUBARA DAN KETAHANAN ENERGI NASIONAL

Oleh Bambang Dwi Djanuarto
Praktisi Energi - Pendiri Indonesia Energy Review*

Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai rapat di kantor pusat PT Pertamina tentang Ketahanan Energi memang terasa nikmat ditelinga dengan berusaha meyakinkan publik bahwa Indonesia bisa memiliki Ketahanan Energi pada tahun 2018, tidak lama lagi, hanya enam tahun dari sekarang. Asumsi yang digunakan adalah melimpahnya pasokan energi berupa gas dari lapangan gas raksasa seperti East Natuna, Masela dan produksi minyak dari Blok Cepu. Ditambah lagi dengan rencana pembangunan kilang minyak baru agar Bangsa ini bisa mendapatkan tambahan produk BBM dan mengurangi impor untuk memenuhi pasokan BBM domestik yang terus melonjak. Terasa nikmat di telinga.
Disaat yang sama, hiruk pikuk terjadi di sektor energi Indonesia, sejumlah Ormas Islam menggugat keberadaan Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi melalui judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Tidak ketinggalan pula, Serikat Pekerja Pertamina menggugat Undang-Undang yang sama ke Mahkamah Konstitusi. Kedua kelompok ini menilai Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 meruntuhkan kedaulatan Negara dan mengancam Ketahanan Energi Nasional.
Meski dua kejadian diatas nampak berbeda namun memiliki kesamaan yaitu menginginkan adanya Ketahanan Energi Nasional yang kuat sehingga Bangsa ini tidak hanya menjadi Bangsa yang tergantung terhadap Bangsa lain. Sebuah nilai prinsip yang memang layak diperjuangkan sebagai sebuah Bangsa yang berdaulat.
Namun, baik Presiden maupun Ormas Islam nampaknya lupa bahwa energi tidak hanya minyak dan gas, masih banyak energi lainnya_baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan_yang potensial untuk dikembangkan agar dapat meningkatkan Ketahanan Energi Nasional.
Ormas Islam yang sibuk menggugat Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi nampaknya lupa bahwa sumber daya alam Indonesia yang tidak terbarukan, tidak hanya minyak dan gas bumi tapi juga batubara. Demikian pula, Presiden nampaknya sedikit melupakan hal tersebut.
Batubara, demikian namanya, di Indonesia ini benar-benar seperti barang yang tidak terlalu berharga. Batubara tidak diperlakukan sebagai sumber energi yang utama padahal jumlahnya masih cukup berlimpah jika dibandingkan minyak dan gas, masih ada sekitar 28 miliar ton cadangan batubara di Indonesia. Bahkan tidak juga diperlakukan sebagai sumber pendapatan Negara yang maksimal.
Batubara saat ini, di Indonesia, hanya diperlakukan sebagai komoditas barang dagangan yang tidak strategis. Dikeruk, diangkut ke kapal dan dikirim ke pembeli yang mayoritas adalah pembeli di luar negeri alias ekspor, sama sekali tidak diperlakukan sebagai sumber daya alam yang strategis yang dapat meningkatkan Ketahanan Energi Nasional.
Bayangkan, Indonesia hanya menduduki ranking ke-14 pengguna energi batubara di dunia dengan jumlah konsumsi batubara tahun 2010 hanya 71 juta ton, padahal cadangan yang kita punya jumlahnya miliaran ton. Sungguh ironis karena akibat tidak optimalnya penggunaan batubara sebagai energi di domestik, Indonesia terpaksa melakukan impor minyak untuk memenuhi kebutuhan energinya.
Sementara pada tahun 2012, produksi batubara Indonesia akan mencapai 380 juta ton menurut versi Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia dan sebesar 332 juta ton menurut versi Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dimana sebanyak 75% diekspor ke negara lain seperti China, Amerika dan India. Artinya tahun ini sekitar 249 juta ton hingga 285 juta ton batubara Indonesia diekspor untuk kepentingan energi negara lain. Hal ini menunjukkan bahwa saat ini di Indonesia, batubara tidak diperlakukan sebagai energi yang dapat meningkatkan Ketahanan Energi Nasional.
Tidak hanya itu, batubara tidak juga dianggap sebagai sumber pendapatan Negara yang maksimal. Produksi batubara saat ini saat ini jika dikonversi menjadi setara minyak maka akan berkisar 3,5 juta barel setara minyak per hari, jauh lebih tinggi dari gabungan produksi gas dan minyak bumi Indonesia yang mencapai 2,4 juta barel per hari saat ini namun pendapatan dari sektor Pertambangan Umum jauh lebih rendah.
Pada tahun 2011 pendapatan Negara dari Pertambangan Umum hanya sebesar Rp77,3 triliun, jauh dibawah penerimaan Negara dari Sektor migas yang mencapai Rp272 triliun padahal jumlah yang diproduksikan jauh lebih banyak batubara ketimbang minyak dan gas. Bahkan, jangan sampai lupa 75% produksi batubara tersebut juga diekspor sehingga Indonesia saat ini benar-benar kehilangan batubara sebagai energi maupun sumber pendapatan Negara yang maksimal. Sayangnya hal ini tidak disadari oleh para penggugat Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi bahwa Ketahanan Energi Nasional justru terancam akibat tidak diperlakukannya batubara sebagai sumber energi maupun pendapatan Negara yang optimal.
Jenis Energi
Jumlah Produksi
Ekspor
Penerimaan Negara (2011)
Minyak dan Gas
2,4 juta barel setara minyak per hari
Sekitar 40% dari total produksi minyak dan gas
Rp272 Triliun
Batubara
3,5 juta barel setara minyak per hari
Sekitar 75% dari total produksi batubara
Rp77,3 Triliun (termasuk pertambangan mineral)
Dalam beberapa tahun kedepan, produksi batubara diperkirakan bisa mencapai 500 juta ton per tahun dan tanpa adanya perubahan kebijakan menyangkut batubara yang saat ini hanya dianggap sebagai komoditas tidak strategis, bukan energi, maka Indonesia telah kehilangan kesempatannya untuk meningkatkan Ketahanan Energi Nasional akibat semua aktor melupakan besarnya potensi batubara sebagai sumber Ketahanan Energi Nasional.

*artikel ini merupakan pendapat penulis pribadi,
bukan cerminan pendapat institusi tempat penulis bekerja