Oleh Bambang Dwi Djanuarto
Praktisi Energi - Pendiri Indonesia Energy Review*
Pernyataan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono usai rapat di kantor pusat PT Pertamina tentang Ketahanan
Energi memang terasa nikmat ditelinga dengan berusaha meyakinkan publik bahwa
Indonesia bisa memiliki Ketahanan Energi pada tahun 2018, tidak lama lagi,
hanya enam tahun dari sekarang. Asumsi yang digunakan adalah melimpahnya
pasokan energi berupa gas dari lapangan gas raksasa seperti East Natuna, Masela
dan produksi minyak dari Blok Cepu. Ditambah lagi dengan rencana pembangunan
kilang minyak baru agar Bangsa ini bisa mendapatkan tambahan produk BBM dan
mengurangi impor untuk memenuhi pasokan BBM domestik yang terus melonjak.
Terasa nikmat di telinga.
Disaat yang sama, hiruk pikuk
terjadi di sektor energi Indonesia, sejumlah Ormas Islam menggugat keberadaan
Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi melalui judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Tidak ketinggalan pula, Serikat Pekerja Pertamina menggugat Undang-Undang yang
sama ke Mahkamah Konstitusi. Kedua kelompok ini menilai Undang-Undang No. 22
Tahun 2001 meruntuhkan kedaulatan Negara dan mengancam Ketahanan Energi
Nasional.
Meski dua kejadian diatas nampak
berbeda namun memiliki kesamaan yaitu menginginkan adanya Ketahanan Energi
Nasional yang kuat sehingga Bangsa ini tidak hanya menjadi Bangsa yang
tergantung terhadap Bangsa lain. Sebuah nilai prinsip yang memang layak
diperjuangkan sebagai sebuah Bangsa yang berdaulat.
Namun, baik Presiden maupun Ormas
Islam nampaknya lupa bahwa energi tidak hanya minyak dan gas, masih banyak
energi lainnya_baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan_yang potensial
untuk dikembangkan agar dapat meningkatkan Ketahanan Energi Nasional.
Ormas Islam yang sibuk menggugat
Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi nampaknya lupa
bahwa sumber daya alam Indonesia yang tidak terbarukan, tidak hanya minyak dan
gas bumi tapi juga batubara. Demikian pula, Presiden nampaknya sedikit
melupakan hal tersebut.
Batubara, demikian namanya, di
Indonesia ini benar-benar seperti barang yang tidak terlalu berharga. Batubara
tidak diperlakukan sebagai sumber energi yang utama padahal jumlahnya masih
cukup berlimpah jika dibandingkan minyak dan gas, masih ada sekitar 28 miliar
ton cadangan batubara di Indonesia. Bahkan tidak juga diperlakukan sebagai
sumber pendapatan Negara yang maksimal.
Batubara saat ini, di Indonesia,
hanya diperlakukan sebagai komoditas barang dagangan yang tidak strategis.
Dikeruk, diangkut ke kapal dan dikirim ke pembeli yang mayoritas adalah pembeli
di luar negeri alias ekspor, sama sekali tidak diperlakukan sebagai sumber daya
alam yang strategis yang dapat meningkatkan Ketahanan Energi Nasional.
Bayangkan, Indonesia hanya
menduduki ranking ke-14 pengguna energi batubara di dunia dengan jumlah
konsumsi batubara tahun 2010 hanya 71 juta ton, padahal cadangan yang kita
punya jumlahnya miliaran ton. Sungguh ironis karena akibat tidak optimalnya
penggunaan batubara sebagai energi di domestik, Indonesia terpaksa melakukan
impor minyak untuk memenuhi kebutuhan energinya.
Sementara pada tahun 2012,
produksi batubara Indonesia akan mencapai 380 juta ton menurut versi Asosiasi
Pertambangan Batubara Indonesia dan sebesar 332 juta ton menurut versi
Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dimana sebanyak 75% diekspor
ke negara lain seperti China, Amerika dan India. Artinya tahun ini sekitar 249
juta ton hingga 285 juta ton batubara Indonesia diekspor untuk kepentingan
energi negara lain. Hal ini menunjukkan bahwa saat ini di Indonesia, batubara
tidak diperlakukan sebagai energi yang dapat meningkatkan Ketahanan Energi
Nasional.
Tidak hanya itu, batubara tidak
juga dianggap sebagai sumber pendapatan Negara yang maksimal. Produksi batubara
saat ini saat ini jika dikonversi menjadi setara minyak maka akan berkisar 3,5
juta barel setara minyak per hari, jauh lebih tinggi dari gabungan produksi gas
dan minyak bumi Indonesia yang mencapai 2,4 juta barel per hari saat ini namun
pendapatan dari sektor Pertambangan Umum jauh lebih rendah.
Pada tahun 2011 pendapatan
Negara dari Pertambangan Umum hanya sebesar Rp77,3 triliun, jauh dibawah
penerimaan Negara dari Sektor migas yang mencapai Rp272 triliun padahal jumlah
yang diproduksikan jauh lebih banyak batubara ketimbang minyak dan gas. Bahkan,
jangan sampai lupa 75% produksi batubara tersebut juga diekspor sehingga
Indonesia saat ini benar-benar kehilangan batubara sebagai energi maupun sumber
pendapatan Negara yang maksimal. Sayangnya hal ini tidak disadari oleh para
penggugat Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi bahwa
Ketahanan Energi Nasional justru terancam akibat tidak diperlakukannya batubara
sebagai sumber energi maupun pendapatan Negara yang optimal.
Jenis Energi
|
Jumlah Produksi
|
Ekspor
|
Penerimaan Negara (2011)
|
Minyak dan Gas
|
2,4 juta barel setara minyak per
hari
|
Sekitar 40% dari total produksi
minyak dan gas
|
Rp272 Triliun
|
Batubara
|
3,5 juta barel setara minyak per
hari
|
Sekitar 75% dari total produksi
batubara
|
Rp77,3 Triliun (termasuk pertambangan mineral)
|
Dalam beberapa tahun kedepan,
produksi batubara diperkirakan bisa mencapai 500 juta ton per tahun dan tanpa
adanya perubahan kebijakan menyangkut batubara yang saat ini hanya dianggap
sebagai komoditas tidak strategis, bukan energi, maka Indonesia telah
kehilangan kesempatannya untuk meningkatkan Ketahanan Energi Nasional akibat
semua aktor melupakan besarnya potensi batubara sebagai sumber Ketahanan Energi
Nasional.
*artikel ini merupakan pendapat penulis
pribadi,
bukan cerminan pendapat institusi tempat
penulis bekerja