Rabu, 30 Mei 2012

UU MIGAS 22/2001 LEBIH BAIK DARI UU NO 8/1971

Yogyakarta – Undang-undang (UU) Nomor 22 Tahun 2011 tentang Minyak dan Gas Bumi (migas) masih perlu disempurnakan untuk perbaikan tata kelola industri hulu migas. Meski demikian, ketimbang UU Nomor 8 Tahun 1971 mengenai Pertamina, UU Migas terbaru telah jauh lebih baik.

Hal ini diungkapkan Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS), R. Priyono saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional “Benarkah UU Migas Menjawab Persoalan Bangsa?” di Yogyakarta, akhir pekan lalu.

Dia menjelaskan, tahun 2001 pemerintah merubah UU Migas untuk memisahkan fungsi bisnis dan pemerintah yang sebelumnya berada di tangan Pertamina. Tujuannya, agar badan usaha milik negara (BUMN) lebih berkembang, industri hulu migas lebih tertata. Untuk pengawasan kegiatan usaha hulu diserahkan ke BPMIGAS, pengawasan kegiatan hilir diserahkan ke BPHMigas, sementara Pertamina fokus sebagai operator.

Hasilnya dapat dilihat dari beberapa parameter. Pertama, setelah masa UU Migas, trend penurunan produksi minyak dapat ditekan sebesar 3-5 persen, karena dilakukan berbagai usaha terkait pengelolaan reservoir yang lebih baik. Semisal, penerapan teknoligi enhanced oil recovery (EOR). “Diharapkan pada tahun 2014 produksi minyak dapat dinaikkan kembali,” katanya.

Kedua, peningkatan produksi gas sejak tahun 2003. Seiring dengan peningkatan kebutuhan dalam negeri, gas untuk domestik meningkat sebanyak 200 persen dalam lima tahun terakhir. Bahkan pada tahun 2012, gas mulai digunakan untuk mendukung transportasi, yaitu sebagai bahan bakar BBG. “Ke depan, komitmen penjualan LNG ke luar negeri akan semakin dikurangi, agar pasokan kepada konsumen domestik dapat semakin ditingkatkan,” kata Priyono.

Indikator lain, seperti biaya operasi Indonesia lebih rendah dari rata-rata dunia, realisasi penerimaan negara selalu di atas target, serta realisasi investasi yang semakin meningkat. Tidak hanya itu, aset hulu migas milik Pemerintah meningkat, jumlah wilayah kerja (WK) Produksi bertambah, dan tingkat kandungan dalam negeri (TDKN) yang semakin meningkat.

“BPMIGAS juga melakukan perbaikan ke dalam, sehingga proses persetujuan dapat dipercepat,” kata Priyono. Dicontohkan, pada tahun 2012, rencana pengembangan lapangan (plan of development/POD) rata-rata dapat diselesaikan 23 hari kerja dari target 31 hari. Hasilnya, sepanjang tahun 2012 telah disetujui tiga POD, lima plan of future development (POFD), dan lima put on production (POP) lebih cepat dari waktu yang ditetapkan.

Meski demikian, setelah satu dasawarsa diterbitkan, UU Migas perlu penyempurnaan untuk perbaikan di sektor hulu migas. Menurut Priyono, usulan perbaikan telah dikirimkan kepada DPR sejak awal tahun 2012. Lima pilar perbaikan, adalah memperbaiki sistem tata kelola dengan penguatan kelembagaan dan memperjelas peran masing-masing stakeholder. Kemudian, meningkatkan penerimaan dan partisipasi daerah, pengaturan kekhususan industri hulu migas  untuk rezim fiskal dan perijinan, serta mengedepankan peran perusahaan migas milik Negara dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. “Kami juga mengusulkan pengaturan Petroleum Fund,” katanya (sumber : http://www.bpmigas.go.id/)