Dalam sebuah pertemuan dengan wakil-wakil organisasi rakyat di gedung Sono Suko di Solo pada tahun 1951, proklamator dan bapak bangsa Indonesia, yang juga perumus terpenting Pasal 33 ketika Undang-undang dasar (UUD) 1945 dirancang, Mohammad Hatta mengatakan:
Untuk membangun negara Kita, Kita tidak mempunyai kapital,
karena itu kita pakai kapital asing untuk kepentingan kita, Kita anti
kapitalisme, tetapi tidak anti kapital. Kita djuga tidak segan-segan memakai
tenaga bangsa asing, karena kita memang kekurangan tenaga ahli. Mereka itu kita
bajar, menurut ukuran pembajaran internasional yang memang tinggi, djika
dibanding dengan pembajaran kepada tenaga-tenaga ahli kita. Hal itu djangan
diirikan, karena mereka itu tidak mempunyai kewajiban terhadap Negara kita,
sedang kita mempunyai kewajiban terhadap Negara dan bangsa.
Ada sementara
golongan dalam masyarakat kita yang kawatir, bahwa dgn memakai kapital asing
itu, kita akan jatuh kembali kedalam penjajahan. Mereka itu masih dihinggapi
oleh restan-rentan zaman kolonial yang minderwaardigheids complex dan zaman
kolonial dahulu. Sebagai bangsa yang telah merdeka, kita harus mempunyai
kepercayaan atas diri kita sendiri. (Pedoman, Rabu 19 September 1951).
Mohammad Hatta dalam pidatonya pada Har Koperasi 12 Juli
1977 mengulangi kembali pengertian Pasal 33 UUD 1 945 dengan mengatakan antara
lain:
Dikuasai oleh Negara dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945
tidak berarti negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan atau ondernemer. Lebih
tepat dikatakan bahwa kekuasaan negara terhadap pada peraturan guna melancarkan
jalan ekonomi.
Cita-cita yang tertanam datam Pasal
33 Undang-Undang Dasar
1945 ialah produksi yang besar-besar sedapatdapatnya dilaksanakan oleh
Pemerintah dengan bantuan kapital pinjaman dan luar. Apabila siasat ini
tidak
berhasil, perlu juga diberi kesempatan kepada pen gusaha asing menanam
modalnya
di Indonesiadengan syarat yang ditentukan oleh Pemerintah. Pokoknya
modal asing yang
bekerja di Indonesiaitu membuka kesempatan bekerja bagi pekenja
Indonesiasendiri. Daripada mereka hidup menganggur, lebih baik mereka
bekerja den gan
jaminan hidup yang cukup.
Cara begitulah dahulu kita memikirkan betapa melaksanakan
pembangunan ekonomi dengan dasar Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. kemudian diberi kesempatan kepada golongan
swasta untuk men yerahkan pekerjaan dan kapital nasional. Apabila tenaga
nasionat dan kapital nasional tidak mencukupi, kita pinjam tenaga asing dan
kapital asing untuk melancarkan produksi.” (Sri-Edi Swasono, Sistem Ekonomi dan
Demokrasi Ekonomi).
Apa yang dinyatakan oleh Mohammad Hatta tersebut di atas
pada tahun 1951 di Solo itu dan diulanginya lagi pada tahun 1977 telah menjadi
kebijakan dibidang minyak dan gas bumi (migas) sebagaimana yang tercermin dalam
Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. UU tersebut
menunjukkan tanggung jawab Negara untuk membenikan kesejahteraan menurut UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ketika negara tidak mempunyai cukup modal
untuk menggali minyak dan gas bumi.
Dengan demikian tidak benar bahwa UU Migas bertentangan
dengan Pasal 33 UUD 1945 yang memberi peluang kepada korporasi internasional
untuk memasuki bisnis Migas di Indonesia.Yang benar adalah, Indonesia tidak
mempunyai cukup modal untuk menggali minyak dan gas bumi, karena sektor mi memerlukan
modal yang besar, mempunyai risiko yang tinggi, dan memerlukan keahlian khusus.
Perlu waktu 6-10 tahun untuk memastikan apakah suatu eksplorasi bisa
dilanjurkan menuju eksploitasi, dan perlu waktu 1-3 tahun lagi untuk membangun
fasilitas. Segala biaya yang diperlukan dalam masa eksplorasi dan eksploitasi
tersebut menjadi beban Kontraktor. Pengembalian biaya tersebut semata-mata
diperhitungkan dan hasil migas (jika migas ada dan dapat diproduksikan secara
komersial).
Dalam hal suatu wilayah kerja tidak benhasil menemukan
cadangan migas yang komersial, maka wilayah kerja tersebut dikembalikan ke
Pemerintah. Biaya Kontraktor yang telah keluar menjadi tanggungan dan resikonya
sendin. Sebagai sumber daya alam tidak terbarukan, produktivitas akan menurun
secara alamiah dan memproduksi migas semakin lama semakin mahal, sedangkan
biaya produksinya semakin tinggi.
Seperti yang dikatakan oleh Bapak Pendiri Bangsa (Founding
Fathers) Mohammad Hatta, memberikan kesempatan kepada korporasi internasional
tidak bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, karena pasal tersebut tidak
melarang modal asing.
Dalam perkembangan selanjutnya Mahkamah Konstitusi
menafsirkan Pasal 33 UUD 1945 tersebut sebagai berikut. UUD 1945 memberikan
mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan
pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad),
dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh
pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas
perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie). Fungsi
pengaturan (regelendaad) oleh negara dilakukan melalui kewenangan legislasi
oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemenintah (eksekutif).
Fungsi pengelolaan dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding)
dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara
atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui Negara c.q.
Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk
digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Demikian pula fungsi pengawasan (toezichthoudensdaad) oleh negara
dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan
agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting
dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benarbenar dilakukan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat. (Putusan Mahkamah Konstitusi
RI. No. 001-021-022/PUU-I/2003). (Sumber Koran Tempo)