SATU KATA MENCAPAI SATU JUTA BAREL MINYAK
Energi bagi sebuah negara kerap ditharatkan sebagai darah
bagi tubuh manusia. Hampir semua sendi kehidupan, mulai dan pertanian,
industri, transportasi, perkantoran sampai rumah tangga membutuhkan pasokan
energi.
Indonesia merupakan negara yang beruntung karena bergelimang
sumber daya energi, termasuk minyak yang menjadi salah satu andalan pasokan
nasional.
Sayangnya, produksi minyak belakangan cenderung turun.
Produksi minyak nasional yang mencapai 1,5 juta barel per hari (bph) pada era
1980-1990-an terus turun hingga sekitar 902.000 bph pada 2011. Pada sisi lain,
seiring pertumbuhan ekonomi, terjadi peningkatan konsumsi, balk di masyarakat
maupun industri.
Guna mengatasi ketimpangan antara pasokan dan konsumsi,
pemerintah pun berupaya menggenjot produksi minyak nasional Pada 2014.
pemerintah menargetkan produksi minyak nasional bisa mencapai 1,01 juta bph.
Tidak main-main, untuk mengakselerasi target tersebut,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Instruksi Presiden No 2/2012 tentang
Peningkatan Produksi Minyak Bumi Nasional. Inpres tersebut memberi mandat,
antara lain, kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM), Menteri Keuangan, Menteri Kehutanan, Menteri Badan
Usaha Milk Negara (BUMN), Kepala Badan Pertanahan Nasional, Kepala Badan
Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), gubernur serta
bupati/wali kota untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan secara
terkoordinasi dan terintegrasi sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan
masing-masing untuk mencapai target produksi minyak bumi nasional 1,01 juta
bph.
Mereka juga diinstruksikan untuk melakukan koordinasi
percepatan penyelesaian permasalahan yang menghambat upaya peningkatan,
pengoptimalan, dan percepatan produksi minyak bumi nasional.
Koordinasi memang menjadi salah satu kunci dalam upaya
menggenjot target produksi minyak 1 juta bph. Sebab, selain permasalahan teknis
seperti kondisi lapangan migas Indonesia sudah cukup tua dan terus mengalami
penurunan produksi, persoalan persoalan menyangkut regulasi kerap berubah,
tumpang tindih aturan, juga menjadi hambatan dalam upaya peningkatan produksi
minyak.
Deputi Direktur Refor
Miner Institute Komaidi Notonegoro bahkan menilai ketidakpastian regulasi
menjadi kendala terbesar dan upaya peningkatan target produksi minyak pada
2014.
“Sebenarnya dalam konteks target cukup realistis. Tapi
turunan teknisnya yang jadi masalah, yaitu dalam hal komitmen meningkatkan itu
sehingga mungkin tidak tercapai dengan kondisi yang ada. Padahal, sebenarnya
cadangan kita cukup, dalam arti bisa menggenjot produksi. Sering kali masalah
regulasi yang kompleks ini menjadi permasalahan,” ujar Komaidi, pekan lalu.
Cost Recovery
Inkonsistensi regulasi memang kerap menjadi sengkarut antara
KKKS dan pemerintah. Umpama, menyangkut masalah cost recovery, yakni biaya
eksplorasi dan produksi migas yang dapat ditagihkan kontraktor kontrak kerja
sama (KKKS) kepada pemerintah setelah ladang migas berproduksi.
Berdasarkan skema bagi hasil produksi (production sharing
contract/PSC) migas Indonesia, seharusnya tidak ada batasan nilai klaim cost
recovery yang dilakukan KKKS.
Namun, sejak 2008, pemerintah menetapkan besaran nilai cost
recovery seiring berlakunya Peraturan Menteri ESDM No 22/2008 mengenai
biaya-biaya yang tidak dapat ditagihkan sebagai cost recovery.
KKKS pun gerah. Penerapan aturan itu dinilai membuat KKKS
sulit memaksimalkan biaya operasional karena mereka khawatir tidak bisa masuk
dalam komponen cost recovery. Aturan dituding kontraproduktif terhadap upaya
meningkatkan target produksi.
Tidak sampai di situ, KKKS semakin geregetan ketika
pemenintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 79/2010 tentang cost
recovery.
Meski menjamin aturan itu udak memengaruhi kontrak kerja
sama migas yang sudah ada (excisting contract), pihak KKKS mengeluhkan
penambahan jenis biaya yang tidak bisa diklaim dan 17 item menjadi 24 item.
Indonesia Petroleum Association (IPA) sempat memperkirakan
implementasi PP No 79/2010 tentang cost recovery bisa mengurangi investasi di
sektor migas hingga 20%. Itu juga berpotensi membuat produksi migas berkurang.
Kepastian aturan memang tengah ditunggu para kontraktor
minyak. Suka tidak suka, mau tidak mau, semua harus balum mempu mencapai target
satu juga barel minyak per hari.
Kejar Target Produksi yang Ramah Lingkungan
Tingginya target produksi yang harus dicapai, tidak berarti
mengabaikan upaya mengurangi dampak bagi lingkungan. Sebagai penopang utama
produksi nasional Chevron menerapkan operasi yang ramah lingkungan dengan
berbagai inovasi dan teknologi di bidang pengelolaan lingkungan.
Selain menjalankan program nihil air terproduksi,
pengurangan limbah B3, program penghijauan, konservasi hutan, Chevron pun saat
ini memiliki 9 fasilitas bioremediasi yang tersebar di wilayah operasi
Sumatera. Fasilitas mi mampu membersihkan sekitar 42 ribu meter kubik tanah
terpapar minyak per siklus pengolahan.
Sejak 2003 hingga sekarang, Chevron telah mengolah lebih dan
500 ribu meter kubik tanah. Tanah yang telah diolah tersebut digunakan untuk
penghijauan kembali 60 hektar lahan di operasi Chevron di Provinsi Riau.
Presiden Direktur CPI A Hamid Batubara kepada pers, beberapa
waktu lalu, menyebutkan bioremediasi yang dikerjakan PT Green Planet Indonesia
dan PT Sumigita Jaya merupakan proyek nyata yang diawasi Kementerian Lingkungan
Hidup dan BP Migas. Proyek tersebut juga diaudit BPKP dan BPK. “Sejauh ini kami
tidak ada masalah dengan Kementerian LH, BP Migas, dan BPK,” terang Hamid.
Proses bioremediasi tersebut pada intinya ialah
mengembalikan tanah yang terkontaminasi minyak pada operasi minyak di masa lalu
ke kondisi asalnya sehingga aman bagi lingkungan. Sejak dimulainya studi
program bioremediasi pada 1994, Chevron bekerja sama dengan Kementerian
Lingkungan Hidup dan ahli lingkungan merancang dan mengawasi pelaksanaan
program tersebut. Dua kontraktor membantu pelaksanaan aktivitas lapangan
termasuk menyediakan, mengoperasikan, dan memelihara alat-alat berat yang
diperlukan untuk siklus pengolahan.
“Program bioremediasi yang didukung karyawan-karyawan
berdedikasi telah berhasil membantu CPI dan mendukung pemerintah Indonesia
mencapai target produksi minyak nasional secara bertanggung jawab dan ramah
lingkungan,” kata Manager Corporate Communication Chevron, Dony Indrawan, pekan
lalu.
Metode yang Aman
CPI menggunakan proses bioremediasi ex situ dengan metode
land farming. Dalam metode tersebut, materi yang terpapar oleh minyak mentah
digali dan dikirim ke lokasi yang secara khusus dirancang untuk mengolah dan
membersihkan tanah tersebut secara efektif dan efisien. Pengolahannya antara
lalu berbentuk penyiraman dan pembajakan yang dilakukan secara berkala untuk
memastikan aerasi tanah berjalan baik. “Aktivitas irigasi dan aerasi diperlukan
agar mikroba dapat bekerja aktif untuk memakan senyawa minyak,” jelas Dony.
Setelah senyawa minyak dimakan mikroba, proses pencemaran pada mikroba tersebut
secara alami mengubah senyawa minyak menjadi air dan gas yang tidak berbahaya.
Proses bioremediasi dijamin aman lantaran sepenuhnya
menggunakan mikroba yang secara alami hidup di tanah dan tidak membahayakan
lingkungan. Mikroba diberi nutrisi berupa pupuk yang lazim digunakan di taman
dan lahan kebun sehingga turnbuh dan bisa mempercepat proses bioremediasi.
“Tidak ada tambahan bahan kimia berbahaya selama proses bioremediasi.”
Satu kali sikius bioremediasi memerlukan waktu maksimal
delapan bulan. Namun, pengelolaan yang efektif dan efisien dalam program itu
dapat mempercepat proses dan menghasilkan tanah yang memiiki kandungan minyak
mentah pada tanah yang aman (sama dengan atau lebih kecil dan 1% Total
Petroleum Hydrocarbon TPH)dalam sikius 3-4 bulan.
Pakar manajemen lingkungan Surna Tjahja Djajadiningrat yakin
Chevron bisa melakukan proses bioremediasi secara baik. “Sejauh mana Chevron
sudah menggunakan teknologi bioremediasi, apakah sudah terbukti secara ilmiah
dan praktik, apakah secara keilmuan teknologi ini bisa dibuktikan kemampuannya,
saya yakin Chevron bisa menjelaskan dengan baik.”
Selain melakukan bioremediasi, untuk melindungi dan
menghijaukan lingkungan Chevron juga melakukan program Green Corridor
Initiative (Gd), yakni menyambung simpul-simpul hutan tropis di Jawa Barat
dengan melakukan penanaman 250 ribu pohon dan pemberdayaan masyarakat sekitar.
Green corridor itu untuk menghijaukan kembali habitat yang penting untuk
ekosistem dengan menyambung hutan tropis antara Gunung Halimun dan Gunung
Salak.
Atas upaya-upaya pengelolaan lingkungan yang baik,
Kementrian Lingkungan Hidup mengganjar Chevron sebagai perusahaan yang sangat
peduli lingkungan (PROPER Award) 2011 dengan predikat biru untuk seluruh
operasi minyak dan gas. Operasi panas bumi Chevron pun diganjar predikat hijau
dan predikat tertinggi, yakni gold.
Tumbuh Bersama Masyarakat
INVESTASI di bidang energi, khususnya minyak dan gas, tidak
melulu demi mengeruk keuntungan finansial. Itu pula paham yang diyakini
Chevron.
Karena itulah, selama 80 tahun beroperasi di Indonesia
Chevron tidak hanya menjalankan operasi bisnis, tapi juga melakukan berbagai
kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social
responsibility/CSR). Tujuannya untuk mendorong pertumbuhan sosial dan ekonomi.
Dalam hal penyediaan lapangan kerja, misalnya, perusahaan
asal Amerika Serikat tersebut mempekerjakan tak kurang dan 7.000 pegawai dan
32.000 mitra kerja. Hebatnya lagi, kendati perusahaan asing, sebanyak 98%
pegawai dan para manajernya berasal dari Indonesia.
“Dengan didominasi oleh karyawan lokal, maka ini membawa
multiplier effect pada orang-orang di sekitar area operasi Chevron di Riau,
Jawa Barat, dan Kalimantan Timur,” kata Manager Corporate Communication
cnevron, Dony Indrawan, pekan lalu.
Sinergi dengan masyarakat sekitar, lanjut Dony, merupakan
nilai terpenting dalam kegiatan bisnis Chevron. Jika hubungan di antara
keduanya bisa dipelihara dengan baik. bisnis pun akan bisa bertahan lama.
“Kami yakin jika pemberdayaan masyarakat berhasil, bisnis
akan terdukung dan langgeng. Aktivitas program-program pemberdayaan di Riau,
Kalimantan Timur dan Jawa Barat menjadi contoh kemitraan perusahaan dengan
masyarakat dan pemenintah pusat dan daerah,” ujarnya.
Berbagai program CSR mulai dan program kesehatan,
pendidikan, pengembangan usaha, hingga bantuan kepada daerah bencana alam pun
rutin digalakkan. Dalam hal pendidikan, Chevron telah membangun dua politeknik,
yakni Politeknik Riau di Aceh serta ratusan sekolah lainnya termasuk SMAN 1 Pekanbaru
dan SMKN 5 Padang.
Politeknik Caltex Riau ditahun pada 2001 dan telah
meluluskan ribuan orang. “Sejak mereka lulus, dalam waktu 3-6 bulan sebanyak
80% diserap berbagai industri, Julukan hanya Untuk Chevron. Kami desain mereka
bisa berkompetisi dengan industri yang ada.”
Politeknik Aceh selesai dibangun pada 2008 dengan
menghabiskan investasi US$16 juta. Gedung seluas 9.000 meter persegi itu
berdiri megah di Pango Raya, Kareng, Banda Aceh.
Dalam hal kesempatan, selain program-program rutin kesehatan,
Chevron telah mengucurkan dana sebesar US$5 juta untuk mengatasi HIV/Aids di
Indonesia. Untuk merndukung dan mengembangkan pemberdayaan masyarakat, Chevron
melakukan program micro-finance dan local/business development (LBD).
Implementasi LBD hingga 2011 melibatkan lebih dari 4600 usaha kecil koperasi
dengan perputaran uang mencapai Rp600 miliar.
Inovasi untuk Genjot Produksi
TARGET pemerintah mencapai produksi minyak 1 juta barel per
hari di dilepas pantai konkontrak kerja sama (KKKS) yang beroperasi di wilayah
‘Merah Putih’.
Bagaimana menggenjot produksi emas hitam dan perut Bumi
Pertiwi bukan semata menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, melainkan juga
seluruh KKKS.
Termasuk Chevron sebagai salah satu pemasok energi terbesar
di Indonesia. Pada 2011, Chevron melalui dua anak perusahaannya yakni PT
Chevron Pacific Indonesia (CPI) dan Chevron Indonesia Company (CICo) memiliki
total produksi harian sebesar rata-rata 442 ribu barel minyak dan 636 juta kaki
kubik gas alam yang dipasok.
Pastinya bukan langkah mudah untuk memompa produksi,
mengingat sumur-sumur migas yang dimiiki Chevron termasuk tua sehingga
produktivitas semakin turun. Hubungan Chevron dan Indonesia memang dapat
ditelusuri sejak lebih dan 80 tahun lalu.
Kondisi tersebut tidak menyurutkan langkah Chevron untuk
ikut mendukung cita-cita pemerintah mencapai target produksi minyak nasional
sebesar 1,01 juta bph di 2014.
Sejumlah langkah. termasuk dana dan inovasi teknologi. telah
dipersiapkan perusahaan untuk menggenjot produksi mereka. Umpamanya, CPI terus
meningkatkan investasi dalam penggunaan teknologi peningkatan perolehan minyak
(enhanced oil recovery/EOR), baik menggunakan water flood (injeksi air) dan
steam flood (injeksi uap), sementara CICO melihat peluang investasi dan
penggunaan teknologi untuk deepwater development (pengembangan laut dalam).
CPI termasuk salah satu penghasil minyak mentah terbesar
Indonesia dengan total produksi harian pada 2011 sebesar rata-rata 357 ribu
barel dan 46 juta kaki kubik gas di dua blok di Riau, Sumatra, yakni Blok Rokan
dan Blok Siak.
Sebagian besar produksi minyak Sumatra ini berasal dan
lapangan di Blok Rokan. Duri, lapangan terbesar di Blok Rokan, telah
menggunakan teknologi injeksi uap untuk meningkatkan produksi sejak 1985 dan
menjadi salah satu lapangan pengembangan injeksi uap terbesan di dunia.
Menurut Manager Corporate Communication Chevron, Dony
Indrawan, injeksi uap merupakan salah satu inovasi teknologi yang dilakukan
perusahaan untuk meningkatkan produksi sumur-sumur migas mereka. Saat ini,
injeksi uap telah dilaksanakan di 12 area lapangan Duri.
“Pengembangan Lapangan Duri area 12 (NDD-12) berhasil menaik
an produksi sebesar 45 ribu bph. Dengan keberhasilan NDD-12, diharapkan
pengembangan area 13 (NDD-13) juga nantinya berhasil. Di area 13 ini kita
berencana melakukan pemboran sekitar 350 sumur produksi, 145 sumur injeksi dan
36 sumur observasi dan ini semua merupakan wujud komitmen kami terhadap
pencapaian target produksi,” ungkap Dony.
Untuk teknologi injeksi air, Chevron menerapkannya di
lapangan minyak Minas yang ditemukan tahun 1944 dan mulai berproduksi di tahun
1952. Dengan usia sumur yang sudah tua, Chevron mencari inovasi teknologi lebih
lanjut dengan melakukan proyek percontohan injeksi bahan kimia surfaktan
polimer di Minas agar dapat lebih lanjut meningkatkan produksi dan
memperpanjang usia sumur tersebut.
Teknologi surfaktan polimer telah dimulai sejak 1997 dengan
studi pengujian injeksi dan desain proyek surfactant field test (SFT). Setelah
berbagai tahap pengujian, tahun ini kita berencana melakukan injeksi untuk SFT
tahap kedua. “Ekspektasi penambahan tingkat recovery dan injeksi surfaktan
polimer sebesar 5%-20%’, ujar Dony.
Selain inovasi-inovasi tersebut, untuk mendongkrak produksi.
Chevron juga rnengembangkan provement IDD). IDD merupakan movas teknologi ultra
laut dalam pertama yang kompleks di Indonesia dengan kedal aman air laut
3.000-6.000 kaki.
Pengembangannya dilakukan di Kutai Basin, lepas pantai
Kalimantan Timur. Dalam mengembangkan berbagai inovasi teknologi tersebut, Dony
mengatakan Chevron selalu bekerja samel dengan pemerintah, termasuk Badan
Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas).
Dalam pandangan Dony, selama ini kemitraan dengan pemerintah
Indonesia dalam operasi minyak dan gas berjalan cukup kondusif melalui kerangka
kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC). “psc: merupakan payung
agreement yan:g selalu kita hormati dan menjadi alasan kenapa kita bisa
bermitra untuk menghasilkan energi sampai seperti sekarang,” imbuhnya.
Akan tetapi, kesemuanya itu bukan tanpa dinamika. “Baik
pemerintah maupun industri terbuka dengan dinamika, yang terpenting ialah
adanya kepastian hukum,” tandasnya. (Sumber Media Indonesia)