Rabu, 15 Agustus 2012

SATU KATA MENCAPAI SEJUTA BAREL MINYAK

SATU KATA MENCAPAI SATU JUTA BAREL MINYAK

Energi bagi sebuah negara kerap ditharatkan sebagai darah bagi tubuh manusia. Hampir semua sendi kehidupan, mulai dan pertanian, industri, transportasi, perkantoran sampai rumah tangga membutuhkan pasokan energi.

Indonesia merupakan negara yang beruntung karena bergelimang sumber daya energi, termasuk minyak yang menjadi salah satu andalan pasokan nasional.

Sayangnya, produksi minyak belakangan cenderung turun. Produksi minyak nasional yang mencapai 1,5 juta barel per hari (bph) pada era 1980-1990-an terus turun hingga sekitar 902.000 bph pada 2011. Pada sisi lain, seiring pertumbuhan ekonomi, terjadi peningkatan konsumsi, balk di masyarakat maupun industri.

Guna mengatasi ketimpangan antara pasokan dan konsumsi, pemerintah pun berupaya menggenjot produksi minyak nasional Pada 2014. pemerintah menargetkan produksi minyak nasional bisa mencapai 1,01 juta bph.

Tidak main-main, untuk mengakselerasi target tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Instruksi Presiden No 2/2012 tentang Peningkatan Produksi Minyak Bumi Nasional. Inpres tersebut memberi mandat, antara lain, kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menteri Keuangan, Menteri Kehutanan, Menteri Badan Usaha Milk Negara (BUMN), Kepala Badan Pertanahan Nasional, Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), gubernur serta bupati/wali kota untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan secara terkoordinasi dan terintegrasi sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing untuk mencapai target produksi minyak bumi nasional 1,01 juta bph.

Mereka juga diinstruksikan untuk melakukan koordinasi percepatan penyelesaian permasalahan yang menghambat upaya peningkatan, pengoptimalan, dan percepatan produksi minyak bumi nasional.
Koordinasi memang menjadi salah satu kunci dalam upaya menggenjot target produksi minyak 1 juta bph. Sebab, selain permasalahan teknis seperti kondisi lapangan migas Indonesia sudah cukup tua dan terus mengalami penurunan produksi, persoalan persoalan menyangkut regulasi kerap berubah, tumpang tindih aturan, juga menjadi hambatan dalam upaya peningkatan produksi minyak.
Deputi Direktur Refor Miner Institute Komaidi Notonegoro bahkan menilai ketidakpastian regulasi menjadi kendala terbesar dan upaya peningkatan target produksi minyak pada 2014.

“Sebenarnya dalam konteks target cukup realistis. Tapi turunan teknisnya yang jadi masalah, yaitu dalam hal komitmen meningkatkan itu sehingga mungkin tidak tercapai dengan kondisi yang ada. Padahal, sebenarnya cadangan kita cukup, dalam arti bisa menggenjot produksi. Sering kali masalah regulasi yang kompleks ini menjadi permasalahan,” ujar Komaidi, pekan lalu.

Cost Recovery
Inkonsistensi regulasi memang kerap menjadi sengkarut antara KKKS dan pemerintah. Umpama, menyangkut masalah cost recovery, yakni biaya eksplorasi dan produksi migas yang dapat ditagihkan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) kepada pemerintah setelah ladang migas berproduksi.
Berdasarkan skema bagi hasil produksi (production sharing contract/PSC) migas Indonesia, seharusnya tidak ada batasan nilai klaim cost recovery yang dilakukan KKKS.

Namun, sejak 2008, pemerintah menetapkan besaran nilai cost recovery seiring berlakunya Peraturan Menteri ESDM No 22/2008 mengenai biaya-biaya yang tidak dapat ditagihkan sebagai cost recovery.
KKKS pun gerah. Penerapan aturan itu dinilai membuat KKKS sulit memaksimalkan biaya operasional karena mereka khawatir tidak bisa masuk dalam komponen cost recovery. Aturan dituding kontraproduktif terhadap upaya meningkatkan target produksi.

Tidak sampai di situ, KKKS semakin geregetan ketika pemenintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 79/2010 tentang cost recovery.

Meski menjamin aturan itu udak memengaruhi kontrak kerja sama migas yang sudah ada (excisting contract), pihak KKKS mengeluhkan penambahan jenis biaya yang tidak bisa diklaim dan 17 item menjadi 24 item.

Indonesia Petroleum Association (IPA) sempat memperkirakan implementasi PP No 79/2010 tentang cost recovery bisa mengurangi investasi di sektor migas hingga 20%. Itu juga berpotensi membuat produksi migas berkurang.

Kepastian aturan memang tengah ditunggu para kontraktor minyak. Suka tidak suka, mau tidak mau, semua harus balum mempu mencapai target satu juga barel minyak per hari.

Kejar Target Produksi yang Ramah Lingkungan
Tingginya target produksi yang harus dicapai, tidak berarti mengabaikan upaya mengurangi dampak bagi lingkungan. Sebagai penopang utama produksi nasional Chevron menerapkan operasi yang ramah lingkungan dengan berbagai inovasi dan teknologi di bidang pengelolaan lingkungan.

Selain menjalankan program nihil air terproduksi, pengurangan limbah B3, program penghijauan, konservasi hutan, Chevron pun saat ini memiliki 9 fasilitas bioremediasi yang tersebar di wilayah operasi Sumatera. Fasilitas mi mampu membersihkan sekitar 42 ribu meter kubik tanah terpapar minyak per siklus pengolahan.

Sejak 2003 hingga sekarang, Chevron telah mengolah lebih dan 500 ribu meter kubik tanah. Tanah yang telah diolah tersebut digunakan untuk penghijauan kembali 60 hektar lahan di operasi Chevron di Provinsi Riau.

Presiden Direktur CPI A Hamid Batubara kepada pers, beberapa waktu lalu, menyebutkan bioremediasi yang dikerjakan PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya merupakan proyek nyata yang diawasi Kementerian Lingkungan Hidup dan BP Migas. Proyek tersebut juga diaudit BPKP dan BPK. “Sejauh ini kami tidak ada masalah dengan Kementerian LH, BP Migas, dan BPK,” terang Hamid.

Proses bioremediasi tersebut pada intinya ialah mengembalikan tanah yang terkontaminasi minyak pada operasi minyak di masa lalu ke kondisi asalnya sehingga aman bagi lingkungan. Sejak dimulainya studi program bioremediasi pada 1994, Chevron bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan ahli lingkungan merancang dan mengawasi pelaksanaan program tersebut. Dua kontraktor membantu pelaksanaan aktivitas lapangan termasuk menyediakan, mengoperasikan, dan memelihara alat-alat berat yang diperlukan untuk siklus pengolahan.

“Program bioremediasi yang didukung karyawan-karyawan berdedikasi telah berhasil membantu CPI dan mendukung pemerintah Indonesia mencapai target produksi minyak nasional secara bertanggung jawab dan ramah lingkungan,” kata Manager Corporate Communication Chevron, Dony Indrawan, pekan lalu.

Metode yang Aman
CPI menggunakan proses bioremediasi ex situ dengan metode land farming. Dalam metode tersebut, materi yang terpapar oleh minyak mentah digali dan dikirim ke lokasi yang secara khusus dirancang untuk mengolah dan membersihkan tanah tersebut secara efektif dan efisien. Pengolahannya antara lalu berbentuk penyiraman dan pembajakan yang dilakukan secara berkala untuk memastikan aerasi tanah berjalan baik. “Aktivitas irigasi dan aerasi diperlukan agar mikroba dapat bekerja aktif untuk memakan senyawa minyak,” jelas Dony. Setelah senyawa minyak dimakan mikroba, proses pencemaran pada mikroba tersebut secara alami mengubah senyawa minyak menjadi air dan gas yang tidak berbahaya.

Proses bioremediasi dijamin aman lantaran sepenuhnya menggunakan mikroba yang secara alami hidup di tanah dan tidak membahayakan lingkungan. Mikroba diberi nutrisi berupa pupuk yang lazim digunakan di taman dan lahan kebun sehingga turnbuh dan bisa mempercepat proses bioremediasi. “Tidak ada tambahan bahan kimia berbahaya selama proses bioremediasi.”

Satu kali sikius bioremediasi memerlukan waktu maksimal delapan bulan. Namun, pengelolaan yang efektif dan efisien dalam program itu dapat mempercepat proses dan menghasilkan tanah yang memiiki kandungan minyak mentah pada tanah yang aman (sama dengan atau lebih kecil dan 1% Total Petroleum Hydrocarbon TPH)dalam sikius 3-4 bulan.

Pakar manajemen lingkungan Surna Tjahja Djajadiningrat yakin Chevron bisa melakukan proses bioremediasi secara baik. “Sejauh mana Chevron sudah menggunakan teknologi bioremediasi, apakah sudah terbukti secara ilmiah dan praktik, apakah secara keilmuan teknologi ini bisa dibuktikan kemampuannya, saya yakin Chevron bisa menjelaskan dengan baik.”

Selain melakukan bioremediasi, untuk melindungi dan menghijaukan lingkungan Chevron juga melakukan program Green Corridor Initiative (Gd), yakni menyambung simpul-simpul hutan tropis di Jawa Barat dengan melakukan penanaman 250 ribu pohon dan pemberdayaan masyarakat sekitar. Green corridor itu untuk menghijaukan kembali habitat yang penting untuk ekosistem dengan menyambung hutan tropis antara Gunung Halimun dan Gunung Salak.

Atas upaya-upaya pengelolaan lingkungan yang baik, Kementrian Lingkungan Hidup mengganjar Chevron sebagai perusahaan yang sangat peduli lingkungan (PROPER Award) 2011 dengan predikat biru untuk seluruh operasi minyak dan gas. Operasi panas bumi Chevron pun diganjar predikat hijau dan predikat tertinggi, yakni gold.

Tumbuh Bersama Masyarakat
INVESTASI di bidang energi, khususnya minyak dan gas, tidak melulu demi mengeruk keuntungan finansial. Itu pula paham yang diyakini Chevron.

Karena itulah, selama 80 tahun beroperasi di Indonesia Chevron tidak hanya menjalankan operasi bisnis, tapi juga melakukan berbagai kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR). Tujuannya untuk mendorong pertumbuhan sosial dan ekonomi.

Dalam hal penyediaan lapangan kerja, misalnya, perusahaan asal Amerika Serikat tersebut mempekerjakan tak kurang dan 7.000 pegawai dan 32.000 mitra kerja. Hebatnya lagi, kendati perusahaan asing, sebanyak 98% pegawai dan para manajernya berasal dari Indonesia.

“Dengan didominasi oleh karyawan lokal, maka ini membawa multiplier effect pada orang-orang di sekitar area operasi Chevron di Riau, Jawa Barat, dan Kalimantan Timur,” kata Manager Corporate Communication cnevron, Dony Indrawan, pekan lalu.

Sinergi dengan masyarakat sekitar, lanjut Dony, merupakan nilai terpenting dalam kegiatan bisnis Chevron. Jika hubungan di antara keduanya bisa dipelihara dengan baik. bisnis pun akan bisa bertahan lama.

“Kami yakin jika pemberdayaan masyarakat berhasil, bisnis akan terdukung dan langgeng. Aktivitas program-program pemberdayaan di Riau, Kalimantan Timur dan Jawa Barat menjadi contoh kemitraan perusahaan dengan masyarakat dan pemenintah pusat dan daerah,” ujarnya.
Berbagai program CSR mulai dan program kesehatan, pendidikan, pengembangan usaha, hingga bantuan kepada daerah bencana alam pun rutin digalakkan. Dalam hal pendidikan, Chevron telah membangun dua politeknik, yakni Politeknik Riau di Aceh serta ratusan sekolah lainnya termasuk SMAN 1 Pekanbaru dan SMKN 5 Padang.

Politeknik Caltex Riau ditahun pada 2001 dan telah meluluskan ribuan orang. “Sejak mereka lulus, dalam waktu 3-6 bulan sebanyak 80% diserap berbagai industri, Julukan hanya Untuk Chevron. Kami desain mereka bisa berkompetisi dengan industri yang ada.”

Politeknik Aceh selesai dibangun pada 2008 dengan menghabiskan investasi US$16 juta. Gedung seluas 9.000 meter persegi itu berdiri megah di Pango Raya, Kareng, Banda Aceh.

Dalam hal kesempatan, selain program-program rutin kesehatan, Chevron telah mengucurkan dana sebesar US$5 juta untuk mengatasi HIV/Aids di Indonesia. Untuk merndukung dan mengembangkan pemberdayaan masyarakat, Chevron melakukan program micro-finance dan local/business development (LBD). Implementasi LBD hingga 2011 melibatkan lebih dari 4600 usaha kecil koperasi dengan perputaran uang mencapai Rp600 miliar.

Inovasi untuk Genjot Produksi
TARGET pemerintah mencapai produksi minyak 1 juta barel per hari di dilepas pantai konkontrak kerja sama (KKKS) yang beroperasi di wilayah ‘Merah Putih’.

Bagaimana menggenjot produksi emas hitam dan perut Bumi Pertiwi bukan semata menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, melainkan juga seluruh KKKS.

Termasuk Chevron sebagai salah satu pemasok energi terbesar di Indonesia. Pada 2011, Chevron melalui dua anak perusahaannya yakni PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dan Chevron Indonesia Company (CICo) memiliki total produksi harian sebesar rata-rata 442 ribu barel minyak dan 636 juta kaki kubik gas alam yang dipasok.

Pastinya bukan langkah mudah untuk memompa produksi, mengingat sumur-sumur migas yang dimiiki Chevron termasuk tua sehingga produktivitas semakin turun. Hubungan Chevron dan Indonesia memang dapat ditelusuri sejak lebih dan 80 tahun lalu.

Kondisi tersebut tidak menyurutkan langkah Chevron untuk ikut mendukung cita-cita pemerintah mencapai target produksi minyak nasional sebesar 1,01 juta bph di 2014.

Sejumlah langkah. termasuk dana dan inovasi teknologi. telah dipersiapkan perusahaan untuk menggenjot produksi mereka. Umpamanya, CPI terus meningkatkan investasi dalam penggunaan teknologi peningkatan perolehan minyak (enhanced oil recovery/EOR), baik menggunakan water flood (injeksi air) dan steam flood (injeksi uap), sementara CICO melihat peluang investasi dan penggunaan teknologi untuk deepwater development (pengembangan laut dalam).

CPI termasuk salah satu penghasil minyak mentah terbesar Indonesia dengan total produksi harian pada 2011 sebesar rata-rata 357 ribu barel dan 46 juta kaki kubik gas di dua blok di Riau, Sumatra, yakni Blok Rokan dan Blok Siak.

Sebagian besar produksi minyak Sumatra ini berasal dan lapangan di Blok Rokan. Duri, lapangan terbesar di Blok Rokan, telah menggunakan teknologi injeksi uap untuk meningkatkan produksi sejak 1985 dan menjadi salah satu lapangan pengembangan injeksi uap terbesan di dunia.

Menurut Manager Corporate Communication Chevron, Dony Indrawan, injeksi uap merupakan salah satu inovasi teknologi yang dilakukan perusahaan untuk meningkatkan produksi sumur-sumur migas mereka. Saat ini, injeksi uap telah dilaksanakan di 12 area lapangan Duri.

“Pengembangan Lapangan Duri area 12 (NDD-12) berhasil menaik an produksi sebesar 45 ribu bph. Dengan keberhasilan NDD-12, diharapkan pengembangan area 13 (NDD-13) juga nantinya berhasil. Di area 13 ini kita berencana melakukan pemboran sekitar 350 sumur produksi, 145 sumur injeksi dan 36 sumur observasi dan ini semua merupakan wujud komitmen kami terhadap pencapaian target produksi,” ungkap Dony.

Untuk teknologi injeksi air, Chevron menerapkannya di lapangan minyak Minas yang ditemukan tahun 1944 dan mulai berproduksi di tahun 1952. Dengan usia sumur yang sudah tua, Chevron mencari inovasi teknologi lebih lanjut dengan melakukan proyek percontohan injeksi bahan kimia surfaktan polimer di Minas agar dapat lebih lanjut meningkatkan produksi dan memperpanjang usia sumur tersebut.

Teknologi surfaktan polimer telah dimulai sejak 1997 dengan studi pengujian injeksi dan desain proyek surfactant field test (SFT). Setelah berbagai tahap pengujian, tahun ini kita berencana melakukan injeksi untuk SFT tahap kedua. “Ekspektasi penambahan tingkat recovery dan injeksi surfaktan polimer sebesar 5%-20%’, ujar Dony.

Selain inovasi-inovasi tersebut, untuk mendongkrak produksi. Chevron juga rnengembangkan provement IDD). IDD merupakan movas teknologi ultra laut dalam pertama yang kompleks di Indonesia dengan kedal aman air laut 3.000-6.000 kaki.

Pengembangannya dilakukan di Kutai Basin, lepas pantai Kalimantan Timur. Dalam mengembangkan berbagai inovasi teknologi tersebut, Dony mengatakan Chevron selalu bekerja samel dengan pemerintah, termasuk Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas).

Dalam pandangan Dony, selama ini kemitraan dengan pemerintah Indonesia dalam operasi minyak dan gas berjalan cukup kondusif melalui kerangka kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC). “psc: merupakan payung agreement yan:g selalu kita hormati dan menjadi alasan kenapa kita bisa bermitra untuk menghasilkan energi sampai seperti sekarang,” imbuhnya.

Akan tetapi, kesemuanya itu bukan tanpa dinamika. “Baik pemerintah maupun industri terbuka dengan dinamika, yang terpenting ialah adanya kepastian hukum,” tandasnya. (Sumber Media Indonesia)